"KOMUNITAS PECINTA SEJARAH KOTA TUA"

Rabu, 29 Juni 2011

Voetbal Bond di Batavia


Dalam konteks final Piala Dunia 2010, dimana Tim Orange melaju ke babak final, ada baiknya kita sedikit menengok tentang voetbal di Batavia. Di akhir tahun 1920, pertandingan voetbal atau sepak bola sering kali digelar untuk meramaikan pasar malam.jadi pertandingan dilaksanakan sore hari. Sebenarnya selain sepak bola, bangsa Eropa termasuk Belanda, memperkenalkan olahraga lain seperti kasti, bola tangan, renang, tennis, hoki, dll. Hanya saja semua jenis olahraga itu hanya terbatas untuk kalangan Eropa, Belanda, dan Indo. Ajdi sangat eksklusif. Alhasil sepak bola paling disukai karena tidak memerlukan tempat khusus dan pribumi boleh memainkanya.
Lapangan Singa ( Lapangan Banteng ) menjadi saksi dimana orang Belanda sering menggelar pertandingan panca lomba ( vyfkam ) dan tienkam ( dasa lomba ). Khusus untuk sepak bola, serdadu di tangsi – tangsi militer paling sering bertanding mereka kemudian membentuk Bond sepak bola atau perku
mpulan sepak bola. Dari bond – bond itulah kemudian terbentuk satu klub besar. Tak hanya serdadu militer tapi juga warga Belanda, Eropa, dan Indo membuat bond – bond serupa.
Dari bond – bond itu kemudian terbentuk Nederlansch Indische Voetbal Bond ( NIVB ) yang pada tahun 1927 berubah menjadi Nederlansch Indische Voetbal Unie ( NIVU ). Sampai tahun 1929 NIVU sering mengadakan pertandingan termasuk dalam rangka memeriahkan pasar malam dan tak ketinggalan sebagai ajang judi. Demikian Zeffry Alkatiri berkisah dalam Pasar Gambir, Komik Cina dan Es Shanghai.
Bond Cina menggunakan nama antara lain Tiong un Tong, Donar, dan UMS. Sedangkan bond pribumi biasanya mengambil nama wilayahnya seperti Cahaya Kwitang, Sinar Kernolong, atau Si Sawo Mateng.
Zeffry menyebutkan, pada tahun 1928 dibentuk Voetbalbond Indonesia Jacatra ( VIJ ) sebagai akibat dari diskriminasi yang dilakukan NIVB. Sebelumnya bahkan sudah dibentuk Persatuan Sepak Bola Djakarta ( persidja ) pada tahun 1925. pada 19 April 1930 Persidja ikut membentuk Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia ( PSSI ) di gedung Soceiteit Hande Projo, Yogjakarta. Pada saat itu Persidja menggunakan lapangan di jalan Biak, Roxy, Jakpus.
( Pradaningrum Mijarto )

Kamis, 23 Juni 2011

Mayor Jantje dan Tanjidor


Musik orkes yang kemudian dikenal dengan sebagai tanjidor berawal dari Citrap atau Citeureup sekitar dasawarsa kedua abad 19. musik ini disebut – sebut sebagai musik para budak dan tak lepas dari peranan seorang mayor keturunan mardykers ( orang merdeka ). Adalah Agustijn Michiels, keturunan Jonathan Michiels, seorang mardykers yang menjadi pemimpin kaum mardykers di timur laut Batavia, yang mewariskan musik tersebut.
Jonathan bergelar Oud Luitenant der Inlandsche Burgerij of der Papangers - letnan senior kaum papang. Ia memiliki tanah di Cileungsi dan Klapanunggal.
Warisan Jonathan jatuh ke tangan Agustijn, pada tahun 1807-setelah 20 tahun dinas di kemiliteran - berhenti dengan gelar Oud Majoore der Burgerij atau Kolonel Titulair. Meski demikian, Agustijn yang kaya raya tak pernah tinggal di Weltevreden sebagai mana warga Belanda dan Eropa lainya. Sebagai mardykers ia memilih tetap tinggal di Ancol, dimana kaum mardykers tinggal.
Di tahun 1817, Agustijn yang kemudian lebih dikenal sebagai Mayor Jantje, membeli tanah Citrap sekaligus daerah pedalaman sepanjang jalan raya antara Batavia dan Buitenzorg ( Bogor ). Dalam ulasanya pada buku Mayor Jantje: Cerita Tuan Tanah Batavia Abad ke-19 karangan Johan Fabricius, Mona Lohanda menjelaskan, sebagai tuan tanah, Mayor Jantje memiliki ratusan budak. Sebanyak 30 orang di antaranya tergabung dalam Korps Musik Papang ( Het Muziek Corps der Papangers ) yang dibentuk antara 1827 – 1829. para pemusik itu mengiringi pesta sang mayor setiap malam. Dari musik Eropa sampai musik Tionghoa dimainkan. Musik ini terus dimainkan hingga kematian menjemput Mayor Jantje pada 27 Januari 1833 di kediamanya di Semper Idem, Batavia.
Dengan kematian Mayor Jantje, keberadaan orkes tak jelas lagi. Para budak melelang alat musik Eropa seperti tamburin Turki, terompet Perancis, drum bas, dan clarinet. Mona menegaskan, nama tanjidor diperkirakan berasal dari bahasa Portugis, tanger ( bermain musik ) dan tangedor ( bermain musik diluar ruangan ), namun Betawi pun punya kata tanji ( musik ). Tanjidor hingga pertengahan tahun 1950-an masih menghibur warga pada saat merayakan tahun baru, termasuk ngamen di kawawsan Kota.
( Pradaningrum Mijarto )

Dimiskinkan di Batavia



Istilah dimiskinkan popular kembali sejak Gayus Tambunan diduga menjadi mafia Pajak. Hal ini juga diusulkan untuk koruptor – koruptor lain. Yang dimaksud dengan dimiskinkan adalah menyita seluruh harta si koruptor yang diduga kuat merupakan hasil korupsi.
Sebenarnya, istilah dimiskinkan sudah dikenal sejak zaman kerja paksa zaman VOC. Menurut pandangan VOC, rakyat harus dimiskinkan agar gampang diperbudak. Sistem kerja paksa dikenal luas pada zaman Deandels ( 1808 – 1811 ), kemudian diteruskan oleh pemerintah kolonial Belanda sampai tahun 1916. dalam sistem kerja paksa ini ada yang tidak dibayar, adapula yang dibayar sekedarnya.
Ketika itu kehidupan orang kota di Batavia sulit dan pahit, seperti halnya orang – orang desa. Akibatnya kebanyakan pribumi hanya menjual tenaga untuk mencari makan. Mereka tidak punya modal dan kesempatan untuk berdagang, karena Belanda lebih mempercayai oang – orang Cina untuk berkiprah dibidang perekonomian.
Karena dimiskinkan maka para bumi putera ditarik bekerja di sektor perkebunan atau pabrik gula. Walaupun dengan upah sangat rendah, mereka kuasa melawan. Sebaliknya Belanda justru diuntungkan karena mampu meraup keuntungan jutaan gulden per tahun. Bahkan orang – orang kaya bisa mempekerjakan kuli sebagai budak. Bi Batavisa sistem perbudakan dihapus pada tahun 1860.
Umumnya orang yang dimiskinkan itu memang berprofesi sebagai kuli atau babu. Penggunaan rotan dan kurungan dalam kandang di belakang rumah, sudah dianggap biasa terhadap mereka. Sesekali mereka dititipkan pada sipir penjara di balaikota, dengan bayaran empat stuiver per hari. Sipir yang nakal tidak segan menjual budak yang mereka tahan itu.
Kusus untuk pekerjaan babu, hal itu memang sangat dibutuhkan oleh orang – orang Belanda dan Cina. Para babu semula hanya bertugas mengurus rumah tangga juragan mereka. Tapi babu – babu yang berparas lumayan memiliki tugas sampingan, yakni melayani kebutuhan seks para juragan itu. Babu – babu yang demikian dikenal dengan panggilan nyai. Tidak jarang, babu – babu ini kemudian menjadi istri resmi si tuan.
Dulu orang yang dimiskinkan begitu menyedihkan. Salah sedikit saja bisa kena hukum cambuk. Tangan diikat di tiang, lalu celana agak dipelorotkan , dan cambuk pun dilecutkan beberapa kali ke pantat.

( Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya )

Sabtu, 18 Juni 2011

Sundung dan Tabunan


Masalah kebersihan lingkungan di Jakarta ternyata bukan hal yang baru. Pada zaman Belanda masyarakat dianjurkan untuk menjaga kebersihan pekarangan rumah, tidak membuang sampah sembarangan, dan tidak mengotori sungai.

Tujuanya agar sungai dapat dimanfaatkan sebesar – besarnya bagi penduduk. Sodetan Sungai Ciliwung dibangun secara permanen. Tepian kali dicor dengan semen. Walau kemiringanya mencapai 45 derajat, permukaanya dibuat rata agar oang tidak mudah membuang hajat besar sembarangan.

Di sepanjang tepian Ciliwung pada jarak tertentu dibangun trap, tangga untuk memudahkan ibu – ibu dan anak – anak turun ke kali untuk mandi dan mencuci. WC umum Cuma dibangun dibagian hilir Ciliwung dari Mangga Besar ke utara. Jika WC umum dibangun di hulu, dikhawatirkan kawanan buaya kuning( tinja ) menggangu anak – anak yang sedang berenang.

Kehidupan kota Betawi tempoe doloe dimulai dengan kesibukan ibu – ibu dan anaknya pergi ke kali Ciliwung untuk mandi dan mencuci. Hal yang sama dilakukan oleh tukang penatu untuk merebut tempat strategis di tepi sungai sambil memikul pakaian kotor konsumen yang dimuat di sundung. Sundung adalah alat pemikul yang terbuat dari bambo. Kedua ujungnya, tempat pakaian diletakan berbentuk huruf “V”.

Tukang penatu zaman dulu tubuhnya tegap. Maklum, busana yang harus dicuci umumnya terbuat dari drill khaki yang tebal. Konsumenya kebanyakan tetangga mereka sendiri. Sehingga tidak diperlukan tanda terima. Karena mereka hafal busana tetangganya masing – masing .

Tetapi, tidak jarang terjadi ke khilafan. Ada saja celana konsumen yang hilang atau terbawa orang lain. Kalau sudah terjadi kasus seperti ini, tukang penatu menjadi sasaran omelan. Ada yang mengomel dengan kemarahan dan ada pula yang melampiaskanya kemarahanya dengan berpantun. Begini bunyinya “ Pisang batu makanan kampret, pisang raja dimakan kutilang. Tukang binatu ma’di sompret, celana satu dikeje ilang”.

Sementara itu untuk menjaga kebersihan lingkungan rumah dari sampah, pemerintah kota menganjurkan untuk membakarnya. Sampah haruas dikumpulkan pada tempatnya ( biasanya lubang ditanah berukuran 1m x 1m ) dan setelah itu dibakar.

Bakaran sampah dinamakan tabunan. Menabun biasanya dilakukan pada sore hari agar asapnya tidak mengenai pakaian yang sedang dijemur. Dengan demikian pekarangan rumah zaman dulu selalu bersih dan sampah tidak menjadi sumber penyakit karena musnah terbakar.

( Asep Setiawan, pemerhati budaya )

Riwayat Tanahabang

Sejarah Tanahabang dimulai pada abad ke – 17 ketika terjadi perluasan kota Batavia kea rah selatan. Pada mulannya wilayah perluasan kota Batavia itu merupakan tanah milik pribadi orang – orang kaya Belanda. Pada tahun 1733 Tanahabang menjadi milik Justinus Vinck. Sebelumnya, Vinck juga memiliki tanah disebelah timur Weltevreden ( Lapangan Banteng sekarang ). Karena naluri bisnisnya, maka Vinck mendirikan pasar Weltevreden dan pasar Tanahabang di atasnya.

Surat izin untuk kedua pasar keluar pada 30 Agustus 1735. dalam surat izin dicantumkan juga bahwa hari pasar Weltevreden adalah hari senin, sementara untuk pasar Tanahabang hari sabtu. Namun sejak tahun 1751 untuk pasar Tanahabang ditambah hari rabu.

Ketika itu bangunan pasar masih amat sederhana, berbahan bamboo dan rumbia. Pemilik kios umumnya orang China. Barang yang boleh dijual di pasar ditentukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pasar Tanahabang kebagian tekstil, kelontong, dan sedikit sayuran.

Nama Tanahabang sendiri diperkirakan sudah dikenal pada kuartal pertama abad ke – 17. kemungkinan berhubungan dengan tentara mataram yang datang menyerbu VOC di Batavia pada tahun 1628. dulu, wilayah wilayah ini masih merupakan tanah bukit dengan rawa – rawa di sekelilingnya,. Tanahnya amsih berwarna merah karna itu tentara mataram mengguakan sebagai basis pertahanan. Dalam bahasa Jawa, merah disebut abang

Baru lima tahun berdiri, pasar Tanahabang kena imbas peristiwa pembantaian etnis China pada tahun 1740. ketika itu banyak kios dirusak, di porakporandakan, dan dibakar. Akibatnya orang – orang China menyingkir ke daerah pinggiran. Dengan demikian wilayah Tanahabang menjadi sepi.

Pemerintah Belanda yang merasakan dampak itu, mulai melakukan pendekatan kepada orang – orang China untuk bergerak kembali memutar roda perekonomian. Bersamaan dengan perkembangan daerah Tanahabang berkat adannya pasar, daerah itu pun terkenal sebagai tanah kuburan.

Pekuburan Tanahabang dibuka pada tahun 1795. banyak pemuka amsyarakan dimakamkan disitu. Begitu tersohornya pekuburan Tanahabang, sampai – sampai orang Belanda sering berseloroh “terug naar Tanahabang” masksudnya “masuk liang kubur”.

Pada masa kemudian Tanahabang dikenal sebagai pasar kambing. Apalagi sedikit demi sedikit orang – orang Arab yang dikenal doyan makan kambing, bermukim di Tanahabang.

( Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya )

Libur Tahun Baru di Batavia

Daerah puncakpass biasanya menjadi pilihan orang Belanda untuk menghindari ramainya Batavia selama hari libur Natal. Sejak tahun 1920-an, hotel dan rumah – rumah mulai dibangun disana, dan dapat di sewa. Tidak sedikit orang Batavia yang membangun rumah – rumah peristirahatan di daerah puncak, yang letaknya tidak jauh dari Buitenzorg dan Kebun Raya yang menarik.

Biasanya beberapa hari mendinginkan badan di puncak sudah cukup untuk mengembalikan semangat orang – orang Belanda itu. Menjelang akhir tahun, berbondong – bondong pula orang kembali ke Batavia. Pagi – pagi tanggal 31 Desember, ibu – ibu Belanda sudah sibuk mempersiapkan pesta menyambut datangnya tahun baru.

Bau spekkoek atau kue lapis legit yang digemari orang Belanda semerbak mewangi. Di dapur, sang nyonya dan para bediende sibuk membuat slada huzar, dan sebuah pinggan cantik yang besar menunggu dupenuhi slada itu.

Sementara itu, seorang ditugaskan membeli sebuah balok es di warung. Balok es itu tertutup serbuk gergaji supaya tidak cepat mencair dan diikat dengan tali yang terbuat dari serat pisang. Sesampai di rumah, balok es itu disiram air supaya bersih dari sebuk gergaji, lalu dipotong – potong menjadi balok – balok kecil yang kemudian disimpan didalam peti es. Peti es itu merupakan peti kayu berlapis seng di bagian dalamnya. Peti itu di isi dengan botol – botol minuman, terutama bir.

Menjelang malam, muncul beberapa laki – laki membawa bambu – bambu panjang untuk menghidupkan lampu – lampu jalan. Dengan bambu itu, mereka menarik sumbu lampu – lampu jalan itu ke bawah, menyundut kaus lampu dengan api sampai lampu – lampu di jalan bersinar terang, lalu mendorongnya kembali ke atas tiang lampu. Di semua rumah, keluarga sibuk bersiap, berdandan dan mengenakan pakaian pesta.

Lalu, berdatanganlah teman dan sanak – saudara untuk makan dan minum bersama. Tawa berkumandang ke segala arah dan anak – anak kecil tertidur di kursi dan dipangkuan pengasuh mereka. Beberapa menit sebelum jam berdentang dua belas, semua yang tertidur dibangunkan. Semua orang berkumpul di ruang tamu dan bersama – sama mulai menghitung menghilangnya detik – detik tahun yang akan berlalu.

“Vyf!.. Vier!.. Drie!.. Twee!.. Een!.. Prettig Nieuwjaar!!.... Lima!.. Empat!.. Tiga!.. Dua!.. Satu!.. Selamat Tahun Baru!...”

Langit gelap di atas Batavia mendadak semarak oleh kembang api dan sorak gembira

( Frieda Amran, lulusan Antropologi UI, Tinggal di Belanda )

Koleksi Pertama Museum Nasional

Pada 24 April sekelompok cendekiawan dan kolektor bangsa Belanda di Indonesia mendirikan sebuah lembaga ilmu pengetahuan. Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Badan swasta ini bertujuan memajukan penelitian dalam bidang kebudayaan dan keilmuan. Tanggal itu lalu ditetapkan sebagai hari kelahiran Museum Nasional.

Berbagai koleksi benda masa lampau di sumbangkan ke lembaga ini. Dalam beberapa tahun saja terkumpul benda – benda prasejarah, benda – benda arkeologi, keramik asing, dan koleksi – koleksi lain. Koleksi prasejarah yang pertama dimiliki Museum Nasional adalah sebuah kapak batu berukuran 43 cm x 3 cm. kapak ini berasal dari daerah Ciparay, Bandung mungkin merupakan hadiah dari seorang kepala desa.

Koleksi arkeologi yang pertama dimiliki Museum Nasional berupa arca Syiwa Trisirah. Syiwa merupakan salah satu dewa terpenting dari Trimurti. Arca Sywa Trisirah terbuat dari batu. Tempat penemuanya tidak diketahui pasti, hanya dikatakan di Pekalongan ( Jawa Tengah ). Kemungkinan merupakan bagian dari sebuah candi, karena di Jawa Tengah bertebaran candi, baik yang utuh maupun reruntuhan.

Piring adalah merupakan koleksi pertama yang dimiliki Seksi Koleksi Keramik Museum Nasional. Sayang, asal – usul piring berdiameter 38cm ini belum diketahui. Namun berdasarkan penelitian keramolohgi diperkirakan piring tersebut berasal dari abad ke – 12 hingga ke – 14. pemilik pertama piring tersebut adalah Orsoy de Flinnes, seorang kolektor keramik. Sebagian besar koleksi keramik di Museum Nasional merupakan sumbangan pribadi Orsoy de Flinnes.

Anyaman daun nipan dalam bentuk tutup kepala merupakan koleksi pertama dari Seksi Etnografi. Koleksi ini berasal dari Mentawai, Sumatera Barat, berukuran panjang 120 cm dan lebar 58 cm. koleksi ini dicatat pertama kali oleh GW de Rruyn.

Koleksi Seksi Relik Sejarah yang pertama kali adalah tempayan tanah liat. Pada bagian badanya terdapat ragam hias tumbuh – tumbuhan. Tempayan ini digunakan sebagai wadah air. Sedangkan koleksi Seksi Geografi yang pertama adalah peta Keraton Majapahit, hasil rekonstruksi dari kitab Nagarakretagama. Peta ini berukuran panjang 60,5 cm dan lebar 54,5 cm dengan skala 1:10.000.

Kalau pada awalnya, yakni tahun 1778, Museum Nasional hanya memiliki sedikit koleksi, kini jumlah koleksinya mencapai 150.000.

( Djulianto susantio, pemerhati sejarah dan budaya)

Kapal Belanad Pertama di Jayakarta


Kapal Belanda pertama yang berlabuh di Jayakarta adalah Hollandia pimpinan Cornelis de Houtman pada November tahun 1596. dalam dokumen berbahasa latin karya Th de Bry (1601) yang kemudian diterjemahkan oleh Adolf Heuken, Jayakarta disebut lacatra ( sumber – sumber asli sejarah jilid II, 2000 ). Pamanukan dan Karawang juga disebut – sebut.

Dikatakan, Jayakarta merupakan daerah yang sangat subur untuk segala macam tanaman. Daerah ini dilalui sungai yang baik. Air sungai ini sangat cocok untuk menyegarkan para pelaut. Kita dapat menduga, ketika itu air sungai Ciliwung sangat bersih.
Kapal Belanda itu bertujuan mencari rempah – rempah. Dari Ciliwung kapal menuju sungai Tanara, yang terletak delapan mil kea rah timur dari Banten. Pada hari berikutnnya seorang Ethiopia, dari bangsa Gujarat bernama Abdul, naik ke kapal di Banten. Dia bertugas sebagai pemandu dan penerjemah karena fasih berbahasa Jawa, Melayu, dan Portugis. Dia ikut sampai ke Eropa dan menjadi penerjemah pada pelayaran yang ke dua.

Bagian lain laporan tersebut mengatakan, dekat dengan pantai terdapat pulau kecil. Di antara semua pulau, kapal dapat berlayar dengan agak aman. Bahkan banyak dari pulau dihiasi kebun dan taman yang bagus, juga menghasilkan buah – buah Jawa. Di antara pulau – pulau. Banyak banyak terdapat ikans sehingga banyak nelayan Banten pergi kesitu untuk menangkap ikan.

Satu mil ke hulu kelihatan desa besar, yang rupanya termasuk wilayah kuasa raja dari Jayakarta. Pada hari berikutnya beberapa orang Tionghoa datang dengan perahu dan naik ke kapal. Mereka membawa beberapa tempat minuman keras. Rupanya mereka mau ke Jayakarta untuk memperoleh barang – barang kebutuhan lain sebagai barang dagangan.
Banyak buah – buahan dibawa oleh awak kapal. Mereka berdagang dengan damai dan tenang. Raja sempat mendatangi kapal Hollandia. Dia dikawal oleh banyak orang terkemuka dan bangsawan. Setelah meninjau kapal, makanan kecil dipersembahkan kepadanya. Raja berterima aksih karena diterima dengan baik dan memperoleh cenderamata.
( Djulianto susantio, pemerhati sejarah danbudaya )

Jakarta Bagian Kerajaan Sunda

Ketika banyak etnis ramai – ramai datang ke Jakarta. Sebagaimana tergambar dari nama – nama kampong. Seperti Kampungbali, Kampungmelayu, Kampungjawa, Kampungambon, dan Kampungbandan, ternyata Kampungsunda tidak pernah ditemukan.

Bisa jadi karena dulunya Jakarta merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Apalagi, kalau kita amati nama – nama Jakarta adalah Sunda Kalapa ( bahasa sunda untuk kelapa ). Hal ini didukung oleh berbagai nama wilayah, seperti Gandaria, Menteng, Kemang, dan Gambir. Nama – nama yang cukup dikenal di tanah sunda.

Ayatrohaedi, pakar arkeologi islam dari universitas Indonesia, menduga dulunya Jakarta adalah bagian dari Kerajaan Sangiang. Berdasarkan naskah Carita Parahyangan. Raja Sunda Jayadewata ( identik dengan Sri Baduka Maharaja ) mempunyai anak bernama Surawisesa, yang merupakan Raja Sangiang. Itu karena dari berita Portugis itu, raja yang mereka kenal sebelumnya di Malaka sudah tidak berkuasa lagi di Sangiang. Dia telah menjadi Raja Cumda ( = Sunda ) dan bertakhta di Dayo (= Dayeuh, ibu kota ), kira – kira dua hari perjalanan dari Bandar kerajaan Sangiang yang bernama Kalapa.

Dua hari perjalanan ke arah selatan dari Bandar Kalapa atau sekitar 60 kilometer menurut dugaan sekarang, akan membawa kita sampai ke kota Bogor yang ketika itu masih bernama Pakuan Pajajaran, begitu tafsiran Ayatrohaedi. Pada tahun 1527 pasukan Portugis tidak dapat mendarat di Kalapa, karena sudah dikuasai pasukan islam yang dipimpin oleh panglima Fatahillah.

Dari paparan di atas, tentunya kedudukan raja Sangiang sangat penting. Apalagi berita Portugis tidak pernah menyebut Raja Kalapa atau Raja Sunda Kalapa. Kalau dulunya yang disebut kota Jakarta berlokasi di sekitar bandar Kalapa ( wilayah Jakarta utara sekarang ), pastilah daerah – daerah lain ( Jakarta Timur misalnya ) termasuk kekuasaan kerajaan Sunda atau Sangiang. Seberapa jauh hubungan antara Bandar Kalapa dan Kerajaan Sangiang, rupanya kurang mendapat perhatian para peneliti.

( Djulianto Susantio, pemerhati budaya )

Hukuman Sadis Penjahat Abad 17



Minggu lalu, diceritakan Perihal seorang budak Bali yang mengamuk dan membunuh isteri majikanya. Perilaku mengamuk tidak hanya sekali saja terjadidi Batavia pada abad ke – 17. saking seringnya dan banyaknya orang yang mengamuk , orang belanda mengambil alih istilah “amuk” itu. Orang yang mengamuk disebut sebagai “amokmakers” (BI: pelaku amuk ) an orang inggris juga mengambil alih istilah itu sehingga dalam bahasa mereka dikenal perilaku ‘to run amok’ ( BI: perilaku yang tak terkendali ).

Nicolaus de Graaf mencatat cerita mengenai orang lain yang juga mengamuk dan membunuh anak perempuan orang kaya di kota. Entah apa yang membuatnya tega menghabisi nyawa anak itu : kedua gelang emas yang melingkari pergelangan tanganya yang mungil atau kepongahanayahnya yang kaya raya?.. lelaki berdarah dingin ini segera ditangkap dan di ikat pada sebuah kereta, lalu dibawa dari ‘t Stadhuis ( Balai Kota ) berkeliling kota. Di
segala sudut kota sebentar – sebentar tangan dan kakinya dijepit dengan tang besi yang panas membara. Akhirnya dengan lengan dan kaki yang tercabik- cabik oleh tang panas itu, ia dibelengu di tiang beberapa jam sampai menemui ajalnya setelah terlebih dahulu menikmati sebatang rokok dan segelas air putih.

Memang tidak dapat dipungkiri di Batavia, tangan Justitia betul – betul menghukum keras setiap tindak pidana. Namun, barangkali hal itu dapat dipahami mengingat banyaknya orang yang Bengal yang berkeliaran di Batavia. Hanya ancaman – ancaman hukuman berat seperti ini yang membuat kecut hati para matros dan biang kerok yang sebentar – sebentar berkelahi dan membuat onar. Semua orang itu rupanya paham betul bahwa bila seseorang menghunus pisau atau belati dan melukai orang lain, oang itu akan segera ditangkap, diikatkan pada sebuah tiang dan di lecuti dengan cemeti rotan. Bila korbanya sampai meninggal, pada hari itu juga bila tertangkap, si pelaku akan diikat dan digantung di tiang gantung.

Ini kulihat sendiri, kata Nicolaus de Graaf: gedaan naar alle gewesten des werelds ( beginnende 1639 tot 1687 incluis ) yang terbit tahun 1930. hukuman berat itu sangat diperlukan karena di Batavia, jangankan pada malam hari, siang hari pun sering kali seseorang dilecehkan, dirampok, atau di siksa. Seolah tanpa perasaan, Nicolaus de Graaf menceritakan hukuman keji itu. Aneh untuk zaman sekarang, namun tidak perlu heran dengan sikapnya mengamati hukuman yang menimpa penjahat di Batavia juga dijalankan di daratan Eropa pada abad pertengahan. ( frieda.amran@yahoo.com, anggota asosiasi antropologi Indonesia )

Barang Hilang Pasti Ditemukan

Pasti tidak sedikit orang yang pernah mengalami ketinggalan barang di angkutan kota, taksi, ataupun di warung tempat biasa ngupi – ngupi. Sering kali, jika tersadar telah meninggalkan barang secara tak sengaja di suatu tempat, kita hanya bisa “ pasrah “ karena umumnya barang itu tidak akan kembali.

Jangankan barang – barang kecil seperti dompet atau tas, barang – barang besar seperti motor bahkan mobil, pun belum tentu kembali walaupun si pemilik telah melaporkanya kepada yang berwajib dan telah bertahun – tahun menunggu ( semoga yang terakhir tidak terjadi pada anda, tapi saya pernah mengalaminya, hik… hik… ) namun, hal ini tidak berlaku di Batavia ( Betawi ) atau sekarang dikenal dengan nama Jakarta.

Dimuat dalam Koran Sin Po edisi Bulan Oktober 1928. dua Bulan lalu, ada seorang belanda di Matraman telah kehilangan kotak rokoknya di tengah jalan. Bukan sembarang kotak rokok lho… tapi itu adalah kotak rokok yang terbuat dari emas sehingga merupakan barang berharga ( nilainya sekitar f.450 ). Sesaat setelah kehilangan, dia segera melaporkanya ke polisi dan memberitahu kepada seantero pegadaian agar “ menjaga “ tempat rokoknya yang mahal itu.

Tidak lama berselang, ada seorang sopir taksi Oesin namanya, hendak menggadaikan kotak rokok emas yang sama dengan kotak rokok kepunyaan si Belanda Matraman. Maka polisi segera menahanya, dan dari penyelidikan diketahui bahwa kotak rokok emas itu memang kepunyaan si Belanda Matraman yang tertinggal di dalam taksi miliknya.

Akhirnya, oleh Landraad, Oesin dijatuhi hukuman 8 bulan penjara karena dianggap bersalah telah memungut barang milik orang lain namun tidak segera mengembalikan kepada pemiliknya atau menyerahkan barang itu kepada polisi.

Selain Oesin, Landraad itu juga menjatuhi hukuman 6 bulan penjara kepada seorang penduduk Cipete yang telah menemukan dompet berisi uang disebuah warung kopi. Dompet itu yang sebelumnya diakui miliknya, ternyata milik seorang haji ( Sin Po, 3 Oktober 1928 )

Hmm… seandainya saja kejadian yang saja alami terjadi pada tahun 1928, pasti dalam hitungan Bulan mobil saya yang hilang itu sudah kembali, saying di tahun itu, jangankan punya mobil, lahirpun belum! Jadi sampai saat ini ( setelah lebih dari 5 tahun ) agaknya saya masih harus terus menunggu dan hanya bisa berharap.

( Lily Utami )