"KOMUNITAS PECINTA SEJARAH KOTA TUA"

Minggu, 13 Mei 2012

Oud Bataviaasche Museum

Lebih dari 100 tahun Batavia hanya memiliki sebuah museum. Barulah pada tahun 1937 dipersiapkan sebuah museum baru. Ini atas prakarsa Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW). Oud Bataviaasche Museum (OBM), demikian namanya, menempati bangunan di Jalan Pintu Besar Utara No. 27, Jakarta Kota. Semula gedung itu merupakan sebuah gereja “de Oude Hollandsche Kerk” dibanguan tahun 1640. tahun 1732 gedung itu hancur terkena gempa. Setelah dibangun kembali, namanya diganti menjadi “Niew Hollandsche Kerk”. Pada tahun 1936 BGKW membeli gedung ini dan dinyatakan sebagai monumen (caagar budaya).

 Ketika itu sebagai acuan adalah Monumenten Ordonnantie (Undang-undang Kepurbakalaan) 1931. Pada tahun 1937 Yayasan Oud Batavia mengajukan rencana untuk mendirikan sebuah museum mengenai sejarah kota Batavia. Diharapkan koleksi tersebut akan menggambarkan sejarah kota Batavia sejak zaman prasejarah hingga modern (ketika itu), termasuk menggambarkan kehidupan masyarakat Betawi beserta pertemuan kebudayaan dengan bangsa-bangsa asing.

Museum dibuka untuk umum pada 22 Desember 1939. pengelolaanya dilakukan oleh Yayasan Oud Batavia (Sejarah Permuseuman di Indonesia, 2011). Pada tahun 1957 nama OBM berubah menjadi Museum Djakarta Lama dibawah naungan Lembaga Kebudayaan Indonesia, nama baru BGKW. Pada 17 September 1962 lembaga ini diserahkan kepada departemen Pendidikan, Pengadjaran, dan Kebudajaan dan pada 23 Juni 1968 gedung ini diserahkan kepada pemerintah DKI Jakarta. Pada 30 Maret 1974 nama museum berubah menjadi Museum Sejarah Jakarta. Karena tempat terlalu kecil, sementara banyak koleksi besar milik Museum van Het BGKW dihibahkan kesini, maka museum juga menempati gedung lain bekas Balai Kota atau Stadhuis.

Koleksi-koleksi yang diangkuti dari Museum van Het BGKW antara lain mebel dan lukisan. Selanjutnya gedung bekas gereja menjadi Museum Wayang, sementara gedung tambahan menjadi Museum Sejarah Jakarta yang populer dengan nama Museum Fatahilla sekarang . (Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)

Mbah Dukun Zama Belanda

Kehadiran orang Belanda ke Indonesia yang semula hanya untuk berdagang lalu menjadi penguasa, sangat mempengaruhi kebudayaan serta gaya hidup orang Indonesia. Salah satunya adalah tumbuhnya budaya Indis. Suburnya budaya ini, pada awalnya di dukung oleh kebiasaan hidup membujang para pejabat Belanda ( karena saat itu ada larangan membawa isteri dan mendatangkan perempuan ke Hindia Belanda ).

 Hal ini mendorong para lelaki Belanda menikahi penduduk setempat. Maka, terjadilah percampuran darah yang melahirkan anak-anak campuran serta menumbuhkan budaya dan gaya hidup Belanda Pribumi. Yang disebut budaya Indis ( Djoko Soekiman, 2011 ). Termasuk dalam budaya ini adalah kebiasaan-kebiasaan yang khas Indonesia namun dilakukan oleh orang asing ( Belanda ), seperti : sering mandi, mengunyah sirih, berjudi kartu Cina, mengkonsumsi jamu, percayac guna-guna juga berkonsultasi dengan dukun ( Susan Blackburn, 2011 ).

 Seperti kejadian menarik yang terjadi di Batavia pada akhir awal abad 20 lalu. Ketika isteri seorang pegawai dari Volkslectuur kehilangan perhiasan yang disimpan di dalam koper yang tidak terkunci. Perempuan itu menghubungi dukun untuk menemukan perhiasan yang hilang. Namun petunjuk dari dukun tidak menghasilkan. Perhiasan tetap tidak dapat ditemukan. Ternyata, meskipun pemerintah Hindia Belanda berusaha dengan keras untuk menghilangkan Budaya Indis, karena dianggap sebagai gaya hidup yang terlalu pribumi, nyatanya kebudayaan ini tidak serta merta langsung menghilang dalam kehidupan masyarakat Batavia.

 ( Lily Utami, pemerhati kebudayaan dan sejarah )

Minggu, 01 April 2012

Pengaruh Budaya Tionghoa di Betawi

Pada abad ke-16 dan ke-17 terjadi eksodus besar-besaran orang Tionghoa ke bagian selatan Cina, yaitu ke wilayah Asia Tenggara, termasuk nusantara. Kejadian itu disebabkan karena adanya perang saudara dan kemarau berkepanjangan disana.

Pada saat bersama VOC berkuasa di Batavia. Untuk memperlancar pembangunan, mereka memerlukan banyak tenaga kerja. Karena itu mereka mengambil tenaga kerja asal Cina yang dinilai ulet dan rajin.
Sejak itu kebudayaan Cina banyak bercampur dengan kebudayaan Betawi dan masuk ke dalam berbagai aspek kehidupan. Misalnya bahasa, nama tempat, arsitektur, kesenian dan kuliner. Bisa dimaklumi kalau Batavia menjadi kota yang multietnis, Selain sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda, kota Batavia awalnya berada disekitar pelabuhan Sunda Kelapa. Banyak orang dari berbagai suku dan ras datang untuk berdagang, termasuk orang-orang dari daratan cina.

Dalam kosa kata setiap hari banyak istilah Cina yang sudah dianggap punya orang Betawi. Sebut saja cepek (seratus), engkong (kakek), gua (saya), lu (kamu), cabo (pelacur), sekoteng (minuman sejenis wedang jahe), centeng (penjaga malam), toko (tempat bertransaksi), cincau ( minuman ringan dari sari daun), bakiak (sandal dari kayu). Sejak lama rupanya orang-orang Betawi dan Cina sudah bersosialisasi, baik sebagai sahabat, relasi bisnis maupaun hubungan pembantu-majikan.

Busana tradisional Betawi juga berakulturasi dengan busana Cina. Baju koko atau tikim berasal dari dialek Tionghoa, tuikim. begitu pula dengan kebaya encim, dalam dialek Hokkian encim adalah tante. Aksesori sanggul seringkali berujud burung hong, yaitu merupakan hewan mitologi dalam kebudayaan cina.
Bidanglain yang mendapat pengaruh budaya cina adalah kesenian, terlihat jelas pada gambang kromong, cokek dan lenong. Petasan dan kembang api yang tadinya dibakar menjelang Tahun Baru Imlek, menjadi pelengkap setiap hajatan masyarakat Betawi.

Di bidang arsitektur, pengaruh Tionghoa juga cukup kuat. Bagian depan rumah betawi diberi hiasan pembatas berupa langkan. Lalu agar tampak indah dan tidak kusam, pintu dan jendela hasrus dicat. Istilah ubin, lonceng, pangkeng (kamar tidur), kongkow, teh kuaci, tapang (bermakna balai-balai), langseng, anglo, topo, kemoceng, dan pengki juga berasal dari dialek Hokkian.

Di bidang kuliner ada kecap, mi, bihun, tahu, toge, tauco, kucai, lokio, juhi, ebi, dan tepung hunkue. Inilah bukti sejarah yang tidak akan hilang oleh waktu.

(Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)

Iklan Kebutuhan Rumah Tangga

sekitar tahun 1934-1935, setelah malaise melanda dunia berakhir, perekonomian di Hindia-Belanda mulai bangkit lagi. Arus perdagangan hasil bumi, baik berupa hasil perkebunan maupun hasil pertambangan, keluar negeri secara perlahan-lahan membuat kondisi perekonomian membaik. Perkebunan dan perusahaan sudah mulai merekrut pekerja lagi, setelah sebelumnya terjadi PHK besar-besaran, baik disektor jasa maupun yang padat karya, seperti perkebunan.

Dengan bergairahnya ekonomi maka penjualan barang-barang kebutuhan pokokpun meningkat. Barang-barang kebutuhan sekunder mulai ramai diperdagangkan. Dari advertensi yang dimuat di surat kabar terbitan Medan, Jakarta, Semarang, dan Surabaya tercermin bagaimana upaya produsen memikat hati konsumen. Barang-barang impor mulai membanjiri pasar Hindia-Belanda.

Majalah De Huisvrouw in Indie, yang terbit di Medan, setiap bulan membuat daftar harga barang kebutuhan rumah tangga seperti sabun, mentega, makanan kaleng, sirup, pastagigi, dan teh. Dari sisi harga, tampaknya terjadi inflasi yang tingkatnya bervariasi pada barang eks luar negeri seperti tampak dari beda harga enam bulan. Meski ternyata ada juga harga barang yang harganya turun. Beberapa merek masa itu masih kita dapati produknya sekarang.

Pada desember 1933, harga sabun Sunlight sebesar f 0,28 (juni 1934 tetap f 0,28), Rinso f 0,19 (f 0,20) sabun mandi Lux f 0,25 (0,30), mentega Wijsman 2,5 kg f 3,25 (f 3), Delicia 5 lbs f 1,50 (f 1,65), margarine Blue Band 5 lbs f 1 (f 1,50), ikan kaleng sarden Peneau f 0,45 (f 45), kornet Delima f 0,25 (f 0,25), kornet Bovril f 0,25 (f 0,30), sirup Lauw Tjin f 0,30 (f 0,30), fruit salad Del Monte f 0,75 (f 0,65).
Alwi Sahab dalam Djakarta Tempo Doeloe (2-12-2001) menulis, di masa itu seliter beras berharga 2 sen atau satu gobang (2,5 sen), sehingga 1 gulden (100 sen) bisa mendapat 40 liter beras. Sedang dalam cerita Kwee Tek Hoay ditulis, sebuah keluarga sederhana tanpa anak bisa hidup dengan f 80 perbulan dan sewa rumah kecil di gang sebesar f 15 sebulan.

Iklan displai terbanyak adalah susu, mulai dari Viking produksi Nestle Milk CO, lalu Friesche Vlag, Milk Maid, Glaxo, Bear Brand, Ovomaltine Alpine, Lactogen, lalu disusul iklan makanan ringan.

(Hendry ch Bangun)

Proyek Berjuta Lampu Jepang

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, semua serba dibatasi. Bukan hanya bahan pangan seperti beras, tepung terigu, gula, garam, melainkan juga bahan pakaian.

Yang lebih parah lagi, pemakaian lampu (listrik) sebagai penerangan di rumah-rumahpenduduk juga dibatasi.
Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya, sikap Jepang berubah 180 derajat! Sadar akan kekalahannya dari Amerika Serikat, dan untuk kembali menarik hati rakyat Indonesia, dicabutlah berbagai pembatasan itu, termasuk pembatasan penerangan lampu.

Malah kemudian, karena menjelang Hari Raya Idul Fitri, Jepang berjanji akan membagikan berjuta-juta bola lampu pada masyarakat. Berita ini di umumkan dalam suratkabar Asia Raya:
“berhubung dengan dihapusnya pembatasan penerangan lampu, mulai 21 Agustus di umumkan penghapusan pembatasan penerangan lampu diseluruh Jawa.

Berhubung dengan itu, pihak yang bersangkutan telah mengambil tindakan untuk membagi-bagikan berjuta-juta bola lampu kepada umat Islam bagi keperluan lebaran. Pembagian akan melalui Tonori Kumi. Juga kepada bangsa Nipon pembagian semacam itu akan dilakukan dengan syarat permintaan mereka sendiri-sendiri kepada Djawa Zigyoo Sya. Disamping itu, tindakan untuk penerangan jalan-jalan raya di kota-kota besar, pun sudah dimulai. Dengan tindakan ini, terdapatlah kerjasama antara bangsa Nipon dan Indonesia untuk mengatasi segala kesukaran dan penderitaan (Asia Raya, 23 Agustus 1945)”

(LILY Utami, pengamat sejarah dan kebudayaan)

Penduduk Batavia Abad Ke-18

Sebelum VOC membangun kota Batavia, kota Jayakarta masih sedikit penduduknya. Namun sejak diambil alih oleh VOC, pembangunan giat dilaksanakan, terutama disekitar pesisir atau pelabuhan. Akibatnya pada abad ke-18 Batavia menjadi salah satu kota paling ramai dan sibuk di dunia.

Memang tidak ada data resmi dan akurat mengenai jumlah penduduk Batavia pada abad ke-18 itu. Hanya diperkirakan 30.000 jiwa, atau 100.000 jiwa sebagaimana laporan Valentijn. Mereka bertempat tinggal di dalam dan di luar benteng. Ditinjau dari komposisi penduduk, mereka terdiri dari berbagai bangsa dan suku bangsa. Selama periode colonial ini, ras dan agama merupakan dasar terpenting dalam pelapisan sosial, alokasi pekerjaan, dan kesempatan lainya.

Milone (1975) mengelompokan penduduk Batavia menjadi lima golongan. Pertama, orang-orang Eropa termasuk para pejabat VOC. Kedua, warga kota merdeka, terdiri atas Vrijburger, Eurasian, Mardijker, Papanger, orang Jepang, orang Indonesia Kristen, dan beberapa orang Afrika. Ketiga, orang Cina Arab dan India. Keempat, orang Melayu, kelima, orang Indonesia non-kristen.

Yang dimaksud dengan orang Eropa adalah orang-orang Eropa yang dilahirkan di Eropa dan diluar Eropa yang menetap di Batavia. Umumnya orang-orang Eropa yang dilahirkan di luar Eropa tidak menduduki posisi tinggi dalam struktur VOC disbanding orang-orang Eropa yang dilahirkan di Eropa. Termasuk dalam golongan ini adalah orang-orang Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, dan Portugis.

Istilah Vrijburger (warga merdeka) mengacu pada sekelompok masyarakat Eropa yang tidak bekerja pada VOC namun terikat oleh peraturan-peraturan tentang pertahana militer. Eurasian sering disebut Mestizo dan populer dengan istilah indo. Istilah ini dipergunakan untuk menyebut kelompok masyarakat yang dilahirkan oleh ibu Asia dan ayah Eropa. Namun dalam sejumlah kepustakaan, kedua istilah sering dibedakan. Mestizo untuk menyebut peranakan dari ayah Eropa sementara Eurasian atau indo adalah peranakan dari ayah Belanda.

Ditinjau dari kebangsaan, setelah Eropa yang menduduki status sosial dibawahnya adalah orang Timur asing. di antara orang-orang Timur asing, orang Cina terbanyak jumlahnya. Di Batavia mereka adalah golongan terpenting setelah bangsa Belanda karena memberikan kontribusi besar di bidang perekonomian mencapai 2.518 orang (di dalam benteng) dan 24.157 (di luar benteng).

(Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)

Foto Terlarang Hindia Belanda

Selasa, 8 Desember 2009 di Belanda diterbitkan buku yang berisikan foto-foto terlarang yang dibuat di Hindia-Belanda antara tahun 1945 hingga tahun 1949. buku itu berjudul Koloniale Oorlog: 1945-1949
( Perang Kolonial 1945-1949) karya Rene Kok, Erik Somers, dan Louis Zweers. Hamper 200 foto menghiasi buku tersebut. Foto-foto itu pernah disensor oleh pemerintahan Batavia karena mereka hanya mau memberikan gambaran yang positif tentang perang. Foto tentara yang terluka tembakan, penduduk yang ditangkap dan diancam laras senapan dulu tidak pernah muncul di media Belanda.

Ketiga penulis, sebagaimana diberitakan Radio Nederland Siaran Indonesia (Ranesi), menyelidiki arsip-arsip foto di periode dekolonialisasi Hindia-Belanda antara 1945 hingga 1949. ketika itu banyak wartawan yang dipakai oleh pemerintah kolonial untuk membuat foto-foto perang. Para wartawan ini diwajibkan menyerahkan semua foto yang dibuat kepada pemerintah Batavia untuk diseleksi. Foto-foto yang lolos seleksi boleh dikirim ke media di Belanda.

Banyak foto tidak terseleksi karena dianggap mengandung “unsur-unsur yang mengagetkan”. Hal ini dipandang bisa meresahkan sanak keluarga serta penduduk Belanda. Foto serdadu yang terluka atau tawanan perang, musalnya, tidak pernah ditampilkan di media.

Sebenarnya periode setelah 17 Agustus 1945 dan 1949, dikenal dengan periode Bersiap. Setelah itu dimulai aksi agresi I dan II oleh Belanda, dan berakhir dengan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949. Istilah Belanda ‘Politionele Actie’ sengaja tidak digunakan oleh ketiga penulis, menurut mereka istilah ini digunakan pemerintah Belanda untuk membenarkan aksi di Indonesia, yaitu mengembalikan ketenangan dan pemerintahan di Hindia-Belanda, sekaligus digunakan untuk menutup-nutupi apa yang terjadi ketika itu.

Setelah menyelidiki ratusan foto yang ditemukan, ketiganya menyimpulkan bahwa sejak hari pertama pasukan Belanda datang ke Indonesia, dimulailah periode perang, dalam hal ini perang kolonial. Banyak reaksi diterima ketiga penulis, terutama dari kalangan veteran KNIL di Belanda. Dan juga dari anak-anak mereka, generasi kedua setelah perang. Meskipun banyak sisi negatife dari perang diceritakan buku ini, namun inilah sejarah yang sesungguhnya.

(Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)

Jumat, 02 Maret 2012

Iklan Kebutuhan Rumah Tangga

Sekitar tahun 1934-1935, setelah malaise melanda dunia berakhir, perekonomian di Hindia-Belanda mulai bangkit lagi. Arus perdagangan hasil bumi, baik berupa hasil perkebunan maupun hasil pertambangan, keluar negeri secara perlahan-lahan membuat kondisi perekonomian membaik. Perkebunan dan perusahaan sudah mulai merekrut pekerja lagi, setelah sebelumnya terjadi PHK besar-besaran, baik disektor jasa maupun yang padat karya, seperti perkebunan.

Dengan bergairahnya ekonomi maka penjualan barang-barang kebutuhan pokokpun meningkat. Barang-barang kebutuhan sekunder mulai ramai diperdagangkan. Dari advertensi yang dimuat di surat kabar terbitan Medan, Jakarta, Semarang, dan Surabaya tercermin bagaimana upaya produsen memikat hati konsumen. Barang-barang impor mulai membanjiri pasar Hindia-Belanda.

Majalah De Huisvrouw in Indie, yang terbit di Medan, setiap bulan membuat daftar harga barang kebutuhan rumah tangga seperti sabun, mentega, makanan kaleng, sirup, pastagigi, dan teh. Dari sisi harga, tampaknya terjadi inflasi yang tingkatnya bervariasi pada barang eks luar negeri seperti tampak dari beda harga enam bulan. Meski ternyata ada juga harga barang yang harganya turun. Beberapa merek masa itu masih kita dapati produknya sekarang.

Pada desember 1933, harga sabun Sunlight sebesar f 0,28 (juni 1934 tetap f 0,28), Rinso f 0,19 (f 0,20) sabun mandi Lux f 0,25 (0,30), mentega Wijsman 2,5 kg f 3,25 (f 3), Delicia 5 lbs f 1,50 (f 1,65), margarine Blue Band 5 lbs f 1 (f 1,50), ikan kaleng sarden Peneau f 0,45 (f 45), kornet Delima f 0,25 (f 0,25), kornet Bovril f 0,25 (f 0,30), sirup Lauw Tjin f 0,30 (f 0,30), fruit salad Del Monte f 0,75 (f 0,65).
Alwi Sahab dalam Djakarta Tempo Doeloe (2-12-2001) menulis, di masa itu seliter beras berharga 2 sen atau satu gobang (2,5 sen), sehingga 1 gulden (100 sen) bisa mendapat 40 liter beras. Sedang dalam cerita Kwee Tek Hoay ditulis, sebuah keluarga sederhana tanpa anak bisa hidup dengan f 80 perbulan dan sewa rumah kecil di gang sebesar f 15 sebulan.

Iklan displai terbanyak adalah susu, mulai dari Viking produksi Nestle Milk CO, lalu Friesche Vlag, Milk Maid, Glaxo, Bear Brand, Ovomaltine Alpine, Lactogen, lalu disusul iklan makanan ringan.

(Hendry ch Bangun)

Selasa, 10 Januari 2012

Selintas Gedung Harmoni


Pada saat Gedung Harmonie, lengkapnya Societeit de Harmonie, merupakan gedung bergengsi, tidak sembarangan orang boleh datang ke tempat ini. Gedung Harmonie atau Harmonie Club yang dulu pernah berdiri di wilayah Hrmoni sekarang, merupakan tempat berkumpul masyarakat Hindia Belanda di Batavia. Pelopor pendirian gedung adalah Reinier de Klerk pada tahun 1776. masud pendirian agar gaya hidup orang-orang Belanda tidak terlalu urakan. Sebelum ada gedung ini, di sepanjang Kali Ciliwung banyak berdiri kedai minuman.
Awalnya, banyak orang mengajukan keberatan atas gagasan Klerk. Namun akhirnya tempat yang diinginkan terlaksana di Jalan Pintu Besar Selatan sekaran. Pada saat pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels tahun 1808 , gedung itu dianggap jorok, maka kemudian Daendels memindahkan gedung itu ke pinggir kota sehingga bisa menghirup udara yang lebih segar. Pembangunan gedung baru menghabiskan dana besar yang sebagian disokong oleh Balai Harta Peninggalan dan Daendels memerintahkan semua pegawai negeri, militer, sipil, harus menjadi anggota Societeit untuk mengumpulkan dana.
Ketika Daendels kembali ke belanda pada tahun 1811, pembangunan gedung agak tersendat. Begitu pula sewaktu jabatan Gubernur Jenderal dipegang penggantinya. Janssens. Gubernur Jenderal Inggris Raffles-lah yang kemudian memberikan perhatian kepada kelanjutan pembangunan gedung. Bahkan Raffles membuka secara resmi pada 18 Januari 1815.
Gedung Hrmonie begitu mentereng, megah, dan kokoh, serta ditandai tulisan di bagian tengah “ HARMONIE “. Di dalam gedung juga terdapat sejumlah meja billiard. Gedung Hrmonie secara sinis sering disebut Jenewerpaleis atau Gin Palace ( Istana Jenewer ).

Banyak pesta makan dan pesta dansa diselenggarakan disini. Suasana teramai adalah saat makan tengah malam sambil minum anggur dibawah sinar rembulan di teras yang ditanami bunga-bunga. Konser musik dan pasar malam pernah beberapa kali digelar. Pesta paling meriah berlangsung 18 Januari 1940 untuk menyambut ulang tahun ke-125 perkumpulan tersebut. Pesta peringatan 250 tahun kota Batavia pada 29 Mei 1869 juga digelar disana.

Selepas kemerdekaan RI, gedung itu semakin merana. Tahun 1970-an hingga 1980-an Gedung Harmonie dipakai sebagai kantor Gabungan Importir Nasional Indonesia. Lalu, gedung tersebut dibongkar pada Maret tahun 1985. selanjutnya lahanya digunakan untuk perluasan areal parkir Kantor Sekertariat Negara dan pelebaran jalan disampingnya.

( Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya )

Gembok Penangkal Selingkuh


Dua buah koleksi museum nasional yang belum banyak diketahui orang adalah cupeng dan badong. Kedua koleksi itu berkenaan dengan kaum wanita dan terdapat di Ruangan Khasanah.
Cupeng adalah semacam celana bergembok atau berkunci. Istilah ini dikenal di Aceh. Pada awalnya cupeng merupakan benda upacara yang dipakai anak wanita kecil. Dan berfungsi sebagai penutup kelamin, dan berfungsi sebagai penutup kelamin. Bentuknya seperti hati dan pemasangannya diikat dengan benang pada perut si anak. Salah satu artefak yang terkenal berbahan emas 22 karat, berukuran tinggi 6,5cm dan lebar 5,8cm.
Kemungkinan cupeng emas itu digunakan oleh orang terpandang. Artefak tersebut penuh ukiran, pinggiranya berhiaskan motif tapak jala, bagian tengah bermotif bunga teratai dikelilingi deretan bunga bertajuk empat helai dalam bentuk belah ketupat. Bagian bunga tadi bermatakan jakut merah.
Menurut tradisi lama, cupeng harus dipakai oleh anak wanita yang berusia dua hingga lima tahun. Atau digunakan ketika anak mulai berjalan sampai anak pandai menggunakan sarung sendiri. Mereka percaya, cupeng merupakan penangkal roh jahat.
Hampir serupa dengan cupeng adalah badong. Badong merupakan perhiasan untuk wanita bangsawan atau tokoh yang dihormati. Penggunaanya diletakan diluar kain, tepat di depan. Badong adalah simbol bagi wanita yang sudah menikah dan dipakai pada saat suami mereka sedang berperang atau sedang berada diluar rumah. Badong juga dipakai oleh para petapa atau pendeta wanita. Maskudnya untuk melawan godaan agar selamanya tidak melakukan hubungan intim dengan lawan jenis.
Badong berbahan emas ini ditemukan di daerah Madiun, kemungkinan berasal dari masa Kerajaan Majapahit sekitar abad ke 14/15. yang unik, permukaan badong dihiasi relif cerita si tanjung, seorang wanita suci yang dituduh berselingkuh oleh suaminya, sidapaksa dan kemudian dibunuh. Namun suatu saat Dewi Durga datang menolong Sri Tanjung dengan memberikan seekor Gajamina ( ikan gajah ) untuk menyebrangi sungai dunia bawah menuju surga sebagai imbalan atas kesucian dirinya.
Supeng dan badong adalah peninggalan masa lalu, selain sebagai benda budaya, juga menunjukan bahwa kaum wanita sudah mendapat perhatian khusus sejak lama.

( Djulianto Susantio )

Lnong dari Kata Lay dan Nong

Lenong merupakan teater tradisional Betawi yang diperkirakan mulai muncul pada akhir abad ke-19. Lakon dalam pertunjukan lenong biasanya diambil dalam kisah kehidupan sehari – hari yang berisikan pesan – pesan moral. Dalam berdialog, pemain lenong menggunakan bahasa Indonesia dialek Betawi yang sesekali ditingkahi dengan musik gambang kromong.
Menurut Ninuk Kleden, sampai saat ini terdapat dua versi tentang asal - usul lenong yang sebenarnya masih berhubungan. Versi pertama mengatakan, teater lenong mempunyai hubungan yang erat dengan bentuk teater di Tiongkok menurut versi kedua, lenong memperlihatkan keterkaitanya dengan parsi.

Pada awalnya lenong dibawakan oleh sekumpulan warga keturunan China di daerah Tangerang. Menurut cerita, pertunjukan ini dipimpin oleh Tuan Lay. Primadona kesenian ini adalah anak Tuan Lay yang biasa dipanggil si Nong. Dari paduan dua nama Lay dan Nong inilah muncuk kata lenong.

Ciri khas kesenian lenong adalah monolog dan dialog yang dilakukan para pemainya. Meskipun sudah di dasarkan pada skenario yang disusun, namun para pemain tetap bebas melakukan inprovisasi. Monolog diucapkan pada permulaan adegan, bertujuan untuk memperkenalkan tokoh yang akan diperankan beserta situasi lingkunganya. Sementara dialog terbagi atas dua jenis, yakni yang berhubungan dengan cerita dan yang terlepas dari cerita itu.
Termasuk dalam dialog adalah lawakan yang menurut istilah Betawi disebut bodoran. Bisa dikatakan bodoran mendominasi sebagian besar dialog. Bahkan adegan sedih sering diucapkan dengan bodoran itu. Kedudukan tokoh bodor tidak jauh berbeda dengan kedudukan tokoh panakawan pada epos Mahabarata dalam pertunjukan wayang. Ciri khas lain dari kesenian lenong adalah adanya bentuk tari dan silat. Tari diiringi oleh orkes melayu dan dikenal dengan istilah joget. Dilakukan diluar panggung dengan melibatkan penonton. Sementara tari silat diiringi musik gambang kromong di atas panggung, biasanya dilakukan seorang diri oleh tokoh pembawa peran.

Beberapa tokoh bodor yang dikenal antara lain Anen, Nasir, Nirin, Bodong, Bolot, dan Nori. Pada masa jaya, acara lenong selalu ditunggu – tunggu pemirsa TVRI. Namun setelah munculnya grup – grup lawak, kesenian lenong tersisihkan. Memang pernah ada kelompok yang mencoba menghidupkan kembali dengan kemasan lebih moderen. Pada salah satu stasiun televise swasta, misalnya, secara periodik detayangkan acara Lenong Rumpi yang bertahan beberapa tahun saja.

(Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)