"KOMUNITAS PECINTA SEJARAH KOTA TUA"

Sabtu, 27 Agustus 2011

Eksekusi dan Pemotongan





Hukuman mati di Batavia sangat tinggi. Pada awal abad ke-18, Amsterdam yang memiliki 210.000 penduduk, hanya melakukan lima hukuman mati per tahun. Di Batavia angka ini menjadi dua kali lebih besar, padahal jumlah penduduk hanya 130.000.
Seseorang akan dihukum mati bila membunuh, baik terencana maupun tidak terencana. Begitu juga bila memperkosa atau menculik. Biasanya hukuman mati dilakukan dengan cara pemenggalan untuk masyarakat sipil, dan tembak mati untuk tentara.

Pada kasus-kasus berat malah ditambah pemotongan anggota badan. Pada kasus paling berat terhukum akan diikat pada roda, semua anggota badan dipukuli agar patah, juga ditusuk di atas tiang besi. Hukum jenis ini memang tergolong kejam karena dia akan meninggal secara perlahan-lahan dengan penderitaan fisik luar biasa.

Hukuman pancung dianggap paling bermasalah karena suatu waktu pernah sang algojo tiba-tiba jatuh sakit. Ketika itu tidak ada penggantinya yang bisa memenggal. Hukuman gantung pernah dilakukan. Namun kemudian digantikan hukuman lain karena dianggap tidak terhormat.

Pada abad ke-17 dan ke-18 kegiatan homoseksualitas dianggap dosa paling berat karena dipandang melanggar perintah Tuhan. Mereka yang ketahuan akan dihukum mati. Kedua pria yang akan dihukum diharuskan berhadapan punggung lalu diikat. Setelah itu dimasukkan ke dalam karung dan ditenggelamkan. Hukuman yang sama diberlakukan untuk orang yang melakukan seks dengan binatang atau sodomi.

Hukum di Batavia benar-benar tidak pandang bulu. Petrus Vuyst, Gubernur di Ceylon (1729-1732) dihukum mati di sini. Gara-garanya dia dianggap sangat kejam terhadap pegawai Kompeni dan penduduk lokal Ceylon. Dia diikat dan didudukkan telanjang di atas kursi. Lalu lehernya ditusuk dengan pisau. Badannya dipotong menjadi empat bagian, dibakar, dan abunya disebar.

Namun pengadilan tetap saja ada yang tidak adil. Sesekali penyalahgunaan kekuasaan dilakukan oleh Gubernur Jendral atau Dewan Pemerintah Harian. Yang paling dikenal adalah kasus Pieter Erberveld, yang dianggap mau memberontak kepada Kompeni.

Pelaksanaan eksekusi dilakukan di sebuah panggung di depan balaikota. Yang lebih ringan dilaksanakan di bagian belakang gedung, dengan cara digantung. Sementara pelaksanaan eksekusi dari Dewan Pengadilan dilakukan di sebuah lapangan di depan kastil.

Pada saat-saat terakhir si terhukum didampingi seorang tenaga rohani yang memimpin doa dari alkitab. Hal ini juga berlaku bagi orang Islam dan China. Diharapkan pada saat terakhir mereka mau mengganti agama dan menjadi Kristen.

Eksekusi biasanya dilakukan pagi hari setelah lonceng di menara balaikota dibunyikan. Beberapa jam kemudian jenazah dibawa ke lapangan tiang gantung, dipajang di sana pada roda sampai hancur sendiri.

Bagi masyarakat Eropa, eksekusi mati merupakan hiburan. Sebaliknya bagi orang Asia, kematian adalah bentuk pengorbanan manusia.

(Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)

Jumat, 05 Agustus 2011

Benteng Berlan dan Jaga Monyet

Biasanya benteng terdapat di sepanjang pantai, terutama antara Sunda Kelapa, Ancol, dan Tanjung Priok. Namun Benteng Berlan termasuk kekecualian. Benteng ini terdapat di kompleks militer Berlan, Jalan Matraman Raya, Jakarta Timur. Bangunan benteng terletak di tepi Sungai Ciliwung, membentang arah timur-barat tidak jauh dari pintu air Manggarai.

Namun sekarang Benteng Berlan sudah tidak terlihat sisanya, karena di atasnya sudah berdiri perumahan penduduk. Hanya bangunan tangsi masih digunakan sebagai tempat tinggal sampai sekarang, meskipun bentuk fisiknya sudah mengalami perubahan. Demikian juga dengan barak – barak militernya.

Seperti halnya Benteng Berlan, Benteng Jaga Monyet juga jarang disebut – sebut. Benteng ini merupakan penhgganti Benteng Rijswijk yang didirikan pada tahun 1668. aslinya bernama Apenwacht, namun lebih populer dengan nama Jaga Monyet.

Dulu tempat ini ssangat sepi. Karena para tentara tidak mempunyai pekerjaan, mereka sering kali menjaga monyet yang bermain di pohon – pohon besar disekitar pos mereka bertugas. Setelah peristiwa pembantaian orang – orang Cina pada tahun 1740, sebuah benteng persegi yang lebih kuat dibangun dan delapan meriam diletakan diatas temboknya.

Sesudah masa kekuasaan Inggris benteng ini dibongkar. Pada masa penjajahan jepang, tempat ini digunakan sebagai asrama militer. Perkembangan selanjutnya gedung ini digunakan sebagai pertokoan dibelakang gedung Bank Tabungan Negara Harmoni.

Benteng lainya yang masih terasa asing ditelinga adalah Benteng Grientenburg, benteng ini merupakan benteng segitiga, berlokasi di sudut selatan pertemuan Kali Besar ( Ciliwung ) dengan saluran Molenvliet. Sebagai mana lazimnya bangunan benteng, lantai bastion ( benteng pertahanan ) dibuat lebih tinggi, sehingga diperluka tangga untuk naik ke bastion.

Di dalam benteng terdapat bangunan – bangunan seperti menara mesiau, bangunan untuk menampung air, dan bangunan penjagaan. Tinggi tembok benteng segitiga ini sekitar dua meter.
Benteng Grientenburg merupakan tempat untuk menampung para pekerja lepas, benteng ini sebenarnya merupakan perluasan dari Benteng Batenburg. Pada tahun 1809 Benteng Grientenburg dihancurkan oleh Daendels.

( Djulanto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya )