"KOMUNITAS PECINTA SEJARAH KOTA TUA"

Minggu, 01 April 2012

Pengaruh Budaya Tionghoa di Betawi

Pada abad ke-16 dan ke-17 terjadi eksodus besar-besaran orang Tionghoa ke bagian selatan Cina, yaitu ke wilayah Asia Tenggara, termasuk nusantara. Kejadian itu disebabkan karena adanya perang saudara dan kemarau berkepanjangan disana.

Pada saat bersama VOC berkuasa di Batavia. Untuk memperlancar pembangunan, mereka memerlukan banyak tenaga kerja. Karena itu mereka mengambil tenaga kerja asal Cina yang dinilai ulet dan rajin.
Sejak itu kebudayaan Cina banyak bercampur dengan kebudayaan Betawi dan masuk ke dalam berbagai aspek kehidupan. Misalnya bahasa, nama tempat, arsitektur, kesenian dan kuliner. Bisa dimaklumi kalau Batavia menjadi kota yang multietnis, Selain sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda, kota Batavia awalnya berada disekitar pelabuhan Sunda Kelapa. Banyak orang dari berbagai suku dan ras datang untuk berdagang, termasuk orang-orang dari daratan cina.

Dalam kosa kata setiap hari banyak istilah Cina yang sudah dianggap punya orang Betawi. Sebut saja cepek (seratus), engkong (kakek), gua (saya), lu (kamu), cabo (pelacur), sekoteng (minuman sejenis wedang jahe), centeng (penjaga malam), toko (tempat bertransaksi), cincau ( minuman ringan dari sari daun), bakiak (sandal dari kayu). Sejak lama rupanya orang-orang Betawi dan Cina sudah bersosialisasi, baik sebagai sahabat, relasi bisnis maupaun hubungan pembantu-majikan.

Busana tradisional Betawi juga berakulturasi dengan busana Cina. Baju koko atau tikim berasal dari dialek Tionghoa, tuikim. begitu pula dengan kebaya encim, dalam dialek Hokkian encim adalah tante. Aksesori sanggul seringkali berujud burung hong, yaitu merupakan hewan mitologi dalam kebudayaan cina.
Bidanglain yang mendapat pengaruh budaya cina adalah kesenian, terlihat jelas pada gambang kromong, cokek dan lenong. Petasan dan kembang api yang tadinya dibakar menjelang Tahun Baru Imlek, menjadi pelengkap setiap hajatan masyarakat Betawi.

Di bidang arsitektur, pengaruh Tionghoa juga cukup kuat. Bagian depan rumah betawi diberi hiasan pembatas berupa langkan. Lalu agar tampak indah dan tidak kusam, pintu dan jendela hasrus dicat. Istilah ubin, lonceng, pangkeng (kamar tidur), kongkow, teh kuaci, tapang (bermakna balai-balai), langseng, anglo, topo, kemoceng, dan pengki juga berasal dari dialek Hokkian.

Di bidang kuliner ada kecap, mi, bihun, tahu, toge, tauco, kucai, lokio, juhi, ebi, dan tepung hunkue. Inilah bukti sejarah yang tidak akan hilang oleh waktu.

(Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)

Iklan Kebutuhan Rumah Tangga

sekitar tahun 1934-1935, setelah malaise melanda dunia berakhir, perekonomian di Hindia-Belanda mulai bangkit lagi. Arus perdagangan hasil bumi, baik berupa hasil perkebunan maupun hasil pertambangan, keluar negeri secara perlahan-lahan membuat kondisi perekonomian membaik. Perkebunan dan perusahaan sudah mulai merekrut pekerja lagi, setelah sebelumnya terjadi PHK besar-besaran, baik disektor jasa maupun yang padat karya, seperti perkebunan.

Dengan bergairahnya ekonomi maka penjualan barang-barang kebutuhan pokokpun meningkat. Barang-barang kebutuhan sekunder mulai ramai diperdagangkan. Dari advertensi yang dimuat di surat kabar terbitan Medan, Jakarta, Semarang, dan Surabaya tercermin bagaimana upaya produsen memikat hati konsumen. Barang-barang impor mulai membanjiri pasar Hindia-Belanda.

Majalah De Huisvrouw in Indie, yang terbit di Medan, setiap bulan membuat daftar harga barang kebutuhan rumah tangga seperti sabun, mentega, makanan kaleng, sirup, pastagigi, dan teh. Dari sisi harga, tampaknya terjadi inflasi yang tingkatnya bervariasi pada barang eks luar negeri seperti tampak dari beda harga enam bulan. Meski ternyata ada juga harga barang yang harganya turun. Beberapa merek masa itu masih kita dapati produknya sekarang.

Pada desember 1933, harga sabun Sunlight sebesar f 0,28 (juni 1934 tetap f 0,28), Rinso f 0,19 (f 0,20) sabun mandi Lux f 0,25 (0,30), mentega Wijsman 2,5 kg f 3,25 (f 3), Delicia 5 lbs f 1,50 (f 1,65), margarine Blue Band 5 lbs f 1 (f 1,50), ikan kaleng sarden Peneau f 0,45 (f 45), kornet Delima f 0,25 (f 0,25), kornet Bovril f 0,25 (f 0,30), sirup Lauw Tjin f 0,30 (f 0,30), fruit salad Del Monte f 0,75 (f 0,65).
Alwi Sahab dalam Djakarta Tempo Doeloe (2-12-2001) menulis, di masa itu seliter beras berharga 2 sen atau satu gobang (2,5 sen), sehingga 1 gulden (100 sen) bisa mendapat 40 liter beras. Sedang dalam cerita Kwee Tek Hoay ditulis, sebuah keluarga sederhana tanpa anak bisa hidup dengan f 80 perbulan dan sewa rumah kecil di gang sebesar f 15 sebulan.

Iklan displai terbanyak adalah susu, mulai dari Viking produksi Nestle Milk CO, lalu Friesche Vlag, Milk Maid, Glaxo, Bear Brand, Ovomaltine Alpine, Lactogen, lalu disusul iklan makanan ringan.

(Hendry ch Bangun)

Proyek Berjuta Lampu Jepang

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, semua serba dibatasi. Bukan hanya bahan pangan seperti beras, tepung terigu, gula, garam, melainkan juga bahan pakaian.

Yang lebih parah lagi, pemakaian lampu (listrik) sebagai penerangan di rumah-rumahpenduduk juga dibatasi.
Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya, sikap Jepang berubah 180 derajat! Sadar akan kekalahannya dari Amerika Serikat, dan untuk kembali menarik hati rakyat Indonesia, dicabutlah berbagai pembatasan itu, termasuk pembatasan penerangan lampu.

Malah kemudian, karena menjelang Hari Raya Idul Fitri, Jepang berjanji akan membagikan berjuta-juta bola lampu pada masyarakat. Berita ini di umumkan dalam suratkabar Asia Raya:
“berhubung dengan dihapusnya pembatasan penerangan lampu, mulai 21 Agustus di umumkan penghapusan pembatasan penerangan lampu diseluruh Jawa.

Berhubung dengan itu, pihak yang bersangkutan telah mengambil tindakan untuk membagi-bagikan berjuta-juta bola lampu kepada umat Islam bagi keperluan lebaran. Pembagian akan melalui Tonori Kumi. Juga kepada bangsa Nipon pembagian semacam itu akan dilakukan dengan syarat permintaan mereka sendiri-sendiri kepada Djawa Zigyoo Sya. Disamping itu, tindakan untuk penerangan jalan-jalan raya di kota-kota besar, pun sudah dimulai. Dengan tindakan ini, terdapatlah kerjasama antara bangsa Nipon dan Indonesia untuk mengatasi segala kesukaran dan penderitaan (Asia Raya, 23 Agustus 1945)”

(LILY Utami, pengamat sejarah dan kebudayaan)

Penduduk Batavia Abad Ke-18

Sebelum VOC membangun kota Batavia, kota Jayakarta masih sedikit penduduknya. Namun sejak diambil alih oleh VOC, pembangunan giat dilaksanakan, terutama disekitar pesisir atau pelabuhan. Akibatnya pada abad ke-18 Batavia menjadi salah satu kota paling ramai dan sibuk di dunia.

Memang tidak ada data resmi dan akurat mengenai jumlah penduduk Batavia pada abad ke-18 itu. Hanya diperkirakan 30.000 jiwa, atau 100.000 jiwa sebagaimana laporan Valentijn. Mereka bertempat tinggal di dalam dan di luar benteng. Ditinjau dari komposisi penduduk, mereka terdiri dari berbagai bangsa dan suku bangsa. Selama periode colonial ini, ras dan agama merupakan dasar terpenting dalam pelapisan sosial, alokasi pekerjaan, dan kesempatan lainya.

Milone (1975) mengelompokan penduduk Batavia menjadi lima golongan. Pertama, orang-orang Eropa termasuk para pejabat VOC. Kedua, warga kota merdeka, terdiri atas Vrijburger, Eurasian, Mardijker, Papanger, orang Jepang, orang Indonesia Kristen, dan beberapa orang Afrika. Ketiga, orang Cina Arab dan India. Keempat, orang Melayu, kelima, orang Indonesia non-kristen.

Yang dimaksud dengan orang Eropa adalah orang-orang Eropa yang dilahirkan di Eropa dan diluar Eropa yang menetap di Batavia. Umumnya orang-orang Eropa yang dilahirkan di luar Eropa tidak menduduki posisi tinggi dalam struktur VOC disbanding orang-orang Eropa yang dilahirkan di Eropa. Termasuk dalam golongan ini adalah orang-orang Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, dan Portugis.

Istilah Vrijburger (warga merdeka) mengacu pada sekelompok masyarakat Eropa yang tidak bekerja pada VOC namun terikat oleh peraturan-peraturan tentang pertahana militer. Eurasian sering disebut Mestizo dan populer dengan istilah indo. Istilah ini dipergunakan untuk menyebut kelompok masyarakat yang dilahirkan oleh ibu Asia dan ayah Eropa. Namun dalam sejumlah kepustakaan, kedua istilah sering dibedakan. Mestizo untuk menyebut peranakan dari ayah Eropa sementara Eurasian atau indo adalah peranakan dari ayah Belanda.

Ditinjau dari kebangsaan, setelah Eropa yang menduduki status sosial dibawahnya adalah orang Timur asing. di antara orang-orang Timur asing, orang Cina terbanyak jumlahnya. Di Batavia mereka adalah golongan terpenting setelah bangsa Belanda karena memberikan kontribusi besar di bidang perekonomian mencapai 2.518 orang (di dalam benteng) dan 24.157 (di luar benteng).

(Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)

Foto Terlarang Hindia Belanda

Selasa, 8 Desember 2009 di Belanda diterbitkan buku yang berisikan foto-foto terlarang yang dibuat di Hindia-Belanda antara tahun 1945 hingga tahun 1949. buku itu berjudul Koloniale Oorlog: 1945-1949
( Perang Kolonial 1945-1949) karya Rene Kok, Erik Somers, dan Louis Zweers. Hamper 200 foto menghiasi buku tersebut. Foto-foto itu pernah disensor oleh pemerintahan Batavia karena mereka hanya mau memberikan gambaran yang positif tentang perang. Foto tentara yang terluka tembakan, penduduk yang ditangkap dan diancam laras senapan dulu tidak pernah muncul di media Belanda.

Ketiga penulis, sebagaimana diberitakan Radio Nederland Siaran Indonesia (Ranesi), menyelidiki arsip-arsip foto di periode dekolonialisasi Hindia-Belanda antara 1945 hingga 1949. ketika itu banyak wartawan yang dipakai oleh pemerintah kolonial untuk membuat foto-foto perang. Para wartawan ini diwajibkan menyerahkan semua foto yang dibuat kepada pemerintah Batavia untuk diseleksi. Foto-foto yang lolos seleksi boleh dikirim ke media di Belanda.

Banyak foto tidak terseleksi karena dianggap mengandung “unsur-unsur yang mengagetkan”. Hal ini dipandang bisa meresahkan sanak keluarga serta penduduk Belanda. Foto serdadu yang terluka atau tawanan perang, musalnya, tidak pernah ditampilkan di media.

Sebenarnya periode setelah 17 Agustus 1945 dan 1949, dikenal dengan periode Bersiap. Setelah itu dimulai aksi agresi I dan II oleh Belanda, dan berakhir dengan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949. Istilah Belanda ‘Politionele Actie’ sengaja tidak digunakan oleh ketiga penulis, menurut mereka istilah ini digunakan pemerintah Belanda untuk membenarkan aksi di Indonesia, yaitu mengembalikan ketenangan dan pemerintahan di Hindia-Belanda, sekaligus digunakan untuk menutup-nutupi apa yang terjadi ketika itu.

Setelah menyelidiki ratusan foto yang ditemukan, ketiganya menyimpulkan bahwa sejak hari pertama pasukan Belanda datang ke Indonesia, dimulailah periode perang, dalam hal ini perang kolonial. Banyak reaksi diterima ketiga penulis, terutama dari kalangan veteran KNIL di Belanda. Dan juga dari anak-anak mereka, generasi kedua setelah perang. Meskipun banyak sisi negatife dari perang diceritakan buku ini, namun inilah sejarah yang sesungguhnya.

(Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)