"KOMUNITAS PECINTA SEJARAH KOTA TUA"

Rabu, 29 Mei 2013

PROYEK BERJUTA LAMPU JEPANG


  Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, semua serba dibatasi. Bukan hanya bahan pangan seperti beras, tepung terigu, gula, dan garam, melainkan juga bahan pakaian. Yang lebih parah lagi, pemakaian lampu ( listrik) sebagai penerangan di rumah-rumah penduduk juga dibatasi.

  Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya, sikap Jepang berubah 180 derajat. Sadar akan kekalahanya dari Amerika Serikat, dan untuk kembali menarik hati rakyat Indonesia, dicabutlah berbagai pembatasan itu, termasuk pembatasan penerangan lampu.

  Malah kemudian, karena menjelang perayaan Hari Raya Idul Fitri, Jepang berjanji akan membagikan berjuta-juta bola lampu pada masyrakat. Berita ini diumumkan dalam suratkabar Asia Raya: “Berhubung dengan dihapuskanya pembatasan penerangan lampu, mulai tanggal 21 Agustus diumumkan penghapusan pembatasan penerangan lampu di seluruh Jawa.

  Berhubung dengan itu, pihak yang bersangkutan telah mengambil tindakan untuk membagi-bagikan berjuta-juta bola lampu kepada umat Islam bagi keperluan lebaran. Pembagian akan melalui Tonori Kumi.

  Juga kepada bangsa Nipon pembagian semacam itu akan dilakukan dengan syarat permintaan mereka sendiri-sendiri kepada Djawa Denki Zigyoo Sya. Disamping itu, tindakan untuk penerangan jalan-jalan raya di kota-kota besar, pun sudah dimulai.

  Dengan tindakan ini, terdapatlah kerjasama antara Bangsa Nipon dengan Indonesia untuk mengatasi segala kesukaran dan penderitaan (Asia Raya, 23 Agustus 1945)".

(Lily Utami, pengamat sejarah dan kebudayaan)    

Minggu, 13 Mei 2012

Oud Bataviaasche Museum

Lebih dari 100 tahun Batavia hanya memiliki sebuah museum. Barulah pada tahun 1937 dipersiapkan sebuah museum baru. Ini atas prakarsa Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW). Oud Bataviaasche Museum (OBM), demikian namanya, menempati bangunan di Jalan Pintu Besar Utara No. 27, Jakarta Kota. Semula gedung itu merupakan sebuah gereja “de Oude Hollandsche Kerk” dibanguan tahun 1640. tahun 1732 gedung itu hancur terkena gempa. Setelah dibangun kembali, namanya diganti menjadi “Niew Hollandsche Kerk”. Pada tahun 1936 BGKW membeli gedung ini dan dinyatakan sebagai monumen (caagar budaya).

 Ketika itu sebagai acuan adalah Monumenten Ordonnantie (Undang-undang Kepurbakalaan) 1931. Pada tahun 1937 Yayasan Oud Batavia mengajukan rencana untuk mendirikan sebuah museum mengenai sejarah kota Batavia. Diharapkan koleksi tersebut akan menggambarkan sejarah kota Batavia sejak zaman prasejarah hingga modern (ketika itu), termasuk menggambarkan kehidupan masyarakat Betawi beserta pertemuan kebudayaan dengan bangsa-bangsa asing.

Museum dibuka untuk umum pada 22 Desember 1939. pengelolaanya dilakukan oleh Yayasan Oud Batavia (Sejarah Permuseuman di Indonesia, 2011). Pada tahun 1957 nama OBM berubah menjadi Museum Djakarta Lama dibawah naungan Lembaga Kebudayaan Indonesia, nama baru BGKW. Pada 17 September 1962 lembaga ini diserahkan kepada departemen Pendidikan, Pengadjaran, dan Kebudajaan dan pada 23 Juni 1968 gedung ini diserahkan kepada pemerintah DKI Jakarta. Pada 30 Maret 1974 nama museum berubah menjadi Museum Sejarah Jakarta. Karena tempat terlalu kecil, sementara banyak koleksi besar milik Museum van Het BGKW dihibahkan kesini, maka museum juga menempati gedung lain bekas Balai Kota atau Stadhuis.

Koleksi-koleksi yang diangkuti dari Museum van Het BGKW antara lain mebel dan lukisan. Selanjutnya gedung bekas gereja menjadi Museum Wayang, sementara gedung tambahan menjadi Museum Sejarah Jakarta yang populer dengan nama Museum Fatahilla sekarang . (Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)

Mbah Dukun Zama Belanda

Kehadiran orang Belanda ke Indonesia yang semula hanya untuk berdagang lalu menjadi penguasa, sangat mempengaruhi kebudayaan serta gaya hidup orang Indonesia. Salah satunya adalah tumbuhnya budaya Indis. Suburnya budaya ini, pada awalnya di dukung oleh kebiasaan hidup membujang para pejabat Belanda ( karena saat itu ada larangan membawa isteri dan mendatangkan perempuan ke Hindia Belanda ).

 Hal ini mendorong para lelaki Belanda menikahi penduduk setempat. Maka, terjadilah percampuran darah yang melahirkan anak-anak campuran serta menumbuhkan budaya dan gaya hidup Belanda Pribumi. Yang disebut budaya Indis ( Djoko Soekiman, 2011 ). Termasuk dalam budaya ini adalah kebiasaan-kebiasaan yang khas Indonesia namun dilakukan oleh orang asing ( Belanda ), seperti : sering mandi, mengunyah sirih, berjudi kartu Cina, mengkonsumsi jamu, percayac guna-guna juga berkonsultasi dengan dukun ( Susan Blackburn, 2011 ).

 Seperti kejadian menarik yang terjadi di Batavia pada akhir awal abad 20 lalu. Ketika isteri seorang pegawai dari Volkslectuur kehilangan perhiasan yang disimpan di dalam koper yang tidak terkunci. Perempuan itu menghubungi dukun untuk menemukan perhiasan yang hilang. Namun petunjuk dari dukun tidak menghasilkan. Perhiasan tetap tidak dapat ditemukan. Ternyata, meskipun pemerintah Hindia Belanda berusaha dengan keras untuk menghilangkan Budaya Indis, karena dianggap sebagai gaya hidup yang terlalu pribumi, nyatanya kebudayaan ini tidak serta merta langsung menghilang dalam kehidupan masyarakat Batavia.

 ( Lily Utami, pemerhati kebudayaan dan sejarah )