"KOMUNITAS PECINTA SEJARAH KOTA TUA"

Selasa, 04 Oktober 2011

Pembantaian di Batavia Tahun 1740





Kejatuhan industri gula mempengaruhi suplai dunia, dan pasar Eropa turut berperan dalam peristiwa pembantaian kaum Tionghoa di Batavia tahun 1740.
Imigran Tionghoa menjadi buruh industri gula mengakibatkan kelebihan sumber daya manusia dan banyak buruh yang tidak mendapat pekerjaan di tahun 1730. VOC merespon dengan serangkaian penahanan dan deportasi imigran Tionghoa serta memperketat peraturan.
VOC juga memberlakukan regulasi terhadap migrasi Tionghoa ke Batavia dengan mengimplementasi sistem ijin huni di tahun 1690. sistem ini mensyaratkan seluruh Tionghoa di Batavia untuk membawa bukti administrasi, jika tidak akan terkena risiko penahanan.
Hukuman dan pengusiran terhadap penduduk ilegal Tionghoa menjadi praktik umum. VOC seringkali mendeportasi mereka kembali ke tanah airnya atau memindahkanya ke Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Sistem ini juga sebaiknya diterapkan untuk orang pribumi tetapi tidak pernah dilaksanakan.
Kenaikan jumlah penahanan imigran Tionghoa di bawah sitem baru, dan kombinasi dengan praktik korupsi dan pungli yang memeras Tionghoa untuk menerbitkan izin tinggal membuat rumor semakin kencang di daerah lain. Rumor lain menyebutkan bahwa seluruh Tionghoa akan dibuang ke Cylon (Srilanka). VOC mengeluarkan resolusi di tanggal 25 Juli 1740, memerintahkan semua Tionghoa yang dicurigai, baik yang memiliki izin tinggal atau tidak untuk ditahan.
Karena VOC sudah membuang orang Tionghoa yang tidak terdaftar dan ditemukan tanpa izin di Batavia, dan juga mereka dihukum atas perbuatan kriminal, maka rumor yang beredar di kalangan buruh Tionghoa seolah menjadi kenyataan.
Buruh Tionghoa bereaksi dengan mempersenjatai diri dengan menyerang pabrik gula dan melampiaskan kemarahan mereka terhadap siapa saja yang bekerja sama dengan VOC. Mereka terus bergerak kemudian melanggar perbatasan tembok kota, dan berniat melakukan serangan umum.
Serangan itu tanpa harapan, dengan mudah dijinakan oleh Belanda yang memiliki keunggulan persenjataan. Tanggal 9-10 Oktober 1740 VOC dan kolaborator pribumi yang mengabdi pada VOC, melampiaskan dendam dengan menyerang pusat pemukiman dan pusat bisnis Tionghoa yang dihuni kurang lebih 7.000 Tionghoa. Estimasi korban pembunuhan paling sedikit 1.000 orang. Pemerintah memang tidak memerintahkan pembantaian secara resmi, tapi membiarkan aksi pembantaian itu terjadi. Di tahana kota, 500 orang Tionghoa juga digiring satu persatu dan ditembak mati. Selama seminggu kota penbuh dengan api dan kanal kota banjir dengan darah

( ito/berbagi sumber )

Nisan VOC di Batavia

Masa pemerintahan VOC di Batavia meninggalkan banyak warisan sejarah. Salah satu artefak yang cukup penting adalah batu nisan, yakni batu yang dibaringkan di atas makam. Batu-batu nisan masa VOC di Batavia ditemukan dalam jumlah banyak. Sebagian besar batu nisan kini disimpan di Museum Taman Prasasti. Sebagian kecil ada di Museum Wayang, Gereja Sion, dan Pulau Onrust.
Umumnya batu nisan tersebut berbentuk persegi empat dan terbuat dari batu yang keras. Panjangnya sekitar dua meter, dengan lebar sekitar satu meter. Batu nisan ini dipahat dalam berbagai bentuk lambing heraldik dan bentuk inskripsi. Di Batavia batu nisan merupakan pelengkap makam Kristen.
Dulu system makam VOC adalah system kelder atau ruang bawah tanah. Dalam satu makam bisa berisi lebih dari satu jenazah yang tahun meninggalnya berlainan. Pesan-pesan pada batu nisan dibuat dalam bentuk verbal (inskripsi), ada juga dalam bentuk non-verbal (ikonis). Keduanya merupakan ekspresi latar belakang bduaya komunitas pengguna pesan-pesan tersebut semasa mereka hidup.
Dari hasil penelitian Lilie Suratminto (Makna Sosiohistoris Batu Nisan VOC di Batavia, 2008), disimpulkan bentuk dan jenis batu nisan sangat tergantung dari jabatan yang pernah dipegang seseorang. Batu-batu nisan para pejabat penting umunya dari batu yang kualitasnya lebih bagus. Sementara batu nisan dari pejabat-pejabat rendah dari batu biasa.
Nisan paling tua adalah milik Maria Caen (tahun 1640), kini tersimpan di Museum Wayang. Sebenarnya ada yang lebih tua, tetapi tinggal sepotong. Artefak itu ditemukan pada penggalian tahun 19038 oleh Dinas Purbakala Hindia-Belanda pimpinan WF Stutterheim dalam rangka mencari makam JP Coen. Nisan itu atas nama Francoisa.
Bahasa dalam inskripsi sebagian besar bahasa Belanda yang berasal dari abad ke-17 atau ke-18. Ciri utamanya adalah belum memiliki keseragaman ejaan., misalnya kata coopman (saudagar) kadang ditulis kopman atau gebooren (dilahirkan) ditulis gheboren. Selain itu banyak kosa kata yang lazim pada masa VOC tidak dipergunakan lagi dalam bahasa Belanda modern.
Menurut Lilie, berdasarkan status sosial orang yang di makamkan, nisan VOC terbagi atas 9 kelompok, yakni Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Gubernur dan Direktur Jenderal Hindia Belanda, anggota Dewan Hindia Belanda, anggota Dewan Kota anggota Dewan Gereja, saudagar/syahbandar/perizinan, angkatan perang/keamanan/peralatan, pribumi, dan orang-orang yang tidak mempunyai jabatan.

(Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)

JP Coen, Tokoh Kontroversial

Nama Jan Pieterszoon Coen populer dalam buku-buku sejarah sebagai pemimpin VOC pendiri kota Batavia. Dia lahir pada tahun 1587 dan wafat pada tahun 1629. namun dalam hidupnya yang relatif singkat itu (42 tahun), dia dikenal sebagai tokoh kontoversial yang bengis. Bahkan ada yang menyamakanya dengan penjahat perang masa kini.
Berbagai julukan disandang Coen, antara lain Ijzeren Jan, Jan Besi, dan Mur Jangkung. Beberapa hari sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, ia masih menyiksa anak asuhnya Sarah, yang ketahuan main serong dengan seorang pelaut. Sang pelaut pun dihukum mati.
Coen lahir di Hoorn, kota pelabuhan cantik di Belanda Utara. Kota ini sarat museum dan monumen. Salah satu monumen penting di Hoorn adalah patung Coen yang berdiri megah di alun-alun pusat kota. Dilihat dari segi artistik sebagaimana ditulis Radio Nederland Siaran Indonesia, patung itu indah. Namun bagi sementara kalangan, patung Coen dipandang sangat menggangu.
Alasanya, patung itu melambangkan penghormatan terhadap seorang pembantai terbesar dalam sejarah Belanda. Karena itu Eric van de Beek, pemerkasa Burgerinitiatief atau Prakarsa Warga, ingin agar patung itu dipindahkan dari alun-alun Hoorn ke museum.
Dimasa itu, jauh sebelum ada istilah genosida, Coen merupakan tokoh bertangan besi dan banyak mencabut nyawa orang. Kekejamanya yang paling besar adalah membinasaan penduduk Banda. Ketika itu mereka melawan monopoli VOC karena tidak mau menjual pala dengan harga murah.
Coen juga yang coba membuat Batavia seperti Hoorn, kota kelahiranya. Disini Coen dibangga-banggakan oleh pemertintah kolonial. Bahkan ketika itu gambarnya menghiasi uang gulden. Selain itu didirikan pulapatung Coen di Waterlooplein, sekarang Lapangan Banteng. Patung ini kemudian digusur oleh tentara pendudukan Jepang.
Dikota kelahiranya, patung Coen sudah diprotes sejak lama. Penyebabnya, Pemda menolak memindahkan patung yang diresmikan pada tahin 1893 itu. Namun baru beberapa tahun belakangan ini Pemda Kotapraja Hoorn bersedia mencari kompromi. Entah disengaja atau tidak disengaja, pada pertengahan tahun 2011 patung Coen terseruduk truk pembawa katrol. Akibatnya patung itu mengalami kerusakan berat dan harus diperbaiki.

(Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)

Sabtu, 01 Oktober 2011

Nona Cantik di Trem Listrik

Di perpustakaan KITLV (Koninklijk Instituut Voor het Taal-Land-en Volkenkunde) di leiden ada sebuah buku berjudul Nederlands-indie (wa VAN Rees. Leiden: AW Sijthoff, 1881). Walaupun cerita buku ini sebetulnya fiksi, kehidupan di Batavia pada akhir abad ke-19 dituturkan dengan rinci.
Wa Rees mengawali ceritanya dengan menggambarkan perasaan Tuan Leeghancker ketika pertama kali naik trem listrik di kota Batavia. Di atas trem, lelaki Belanda itu tidak hanya melihat, tetapi terpaksa duduk berdekatan bahkan mencium bau tubuh para inlander.
Semua orang, apakah ia berkulit putih, kuning, ataupun sawo matang boleh naik dan duduk di kursi manapun. Trem itu ternyata bukan semata – mata angkutan umum saja. Trem Listrik Batavia menjadi ajang pertemuan antarbangsa. Pada waktu itu untuk naik trem dari Kota ke Kramat orang harus membayar sepuluh sen; sebanyak itu pula ongkos untuk pergi dari Kramat ke Mester Cornelius.
Trem itu berhenti, dua orang cina naik. Mereka tersenyum lebar. Dibalik topi, tampak kepala mereka yang hamper botak dicukur. Dari ubun – ubun mereka tergantung kepang panjang.
Lonceng tembaga kondektur trem berbunyi setiap ada penumpang naik. Pertama – tama naiklah seorang lelaki Arab yang berwiawa. Ia berjanggut tebal dengan sorban merah di kepalanya. Lonceng itu berbunyi lagi, seseorang berkulit gelap naik bersama seorang nona cantik. Seorang perempuan Jawa dan anaknya naik di halte berikutnya. Akhirnya, naikpula seorang pedagang Belanda berpakaian putih. Ia langsung duduk dan mulai membaca Koran.
Setiap kali seorang penumpang baru duduk di sebelahnya, Leeghancker pindah tempat duduk. Pertama – tama, ia pindah ke kursi lain untuk menghindari kedua lelaki Cina yang ribut itu; lalu ia pindah lagi supaya tidak tersentuh jubah lelaki Arab bersorban merah tadi. Ia juga tak ingin mencium bau minyak kayu putih ditubuh orang itu. Si perempuan Jawa tampak sopan, akan tetapi kulit perempuan itu tampak kotor dimatanya; sawo matang! Dan kakinya telanjang! Pasir dan kerikil kecil menempel di kaki itu.
Namun, seseorang di trem itu membuat matanya tak berkejap; si nona cantik. Sesekali ia bertemu pandang dengan mata si Nona.
(Frieda.amran@yahoo.com, anggota Asosiasi Antropologi Indonesia)

Trem Inovatif Pertama Belanda di Batavia


Pada tahun 1808, Daendels memulai pembangunan De Grote Postweg ( Jalan Raya Pos ) yang membentang dari Anyer di ujung barat Pulau Jawa sampai ke Panarukan di ujung timurnya. Seribu kilometer panjangnya. Bukan main banyaknya nyawa rakyat Indonesia yang dikorbankan demi pembangunan jalan itu. Jalan raya yang sedemikian panjang melewati gunung, dan lembah selesai dalam waktu satu tahun saja.
Setelah adanya Jalan Raya Pos, lalulintas di darat menajdi lebih mudah. Orang jadi lebih cepat dalam bepergian dengan kereta kuda, kursi usungan ataupun kuda, sepeda kemudian juga banyak digunakan. Kecepatan dan kenyamanan perjalanan semakin bertambah ketika kereta api dan mobil mulai digunakan di Hindia-Belanda. Perjalanan antar pulau di Nusantara dilakukan dengan kapal layar dan kapal api.
Dengan adanya kapal api, perjalanan dari Batavia ke negeri Belanda yang dulunya memerlukan waktu sekitar setengah tahun, menjadi lebih pendek: hanya enam minggu saja.
Di negeri Belanda, Trem pertama yang digunakan pada tahun 1864 ditarik oleh beberapa ekor kuda, walaupun trem kuda yang pertama sudah digunakan di New York pada tahun 1832. Angkutan penumpang ini munculm dari ide menggabungkan bentuk gerobak pengangkut barang dengan kereta perorangan yang ditarik oleh kuda.
Sejak sekitar tahun 1880, trem bertenaga kuda telah digantikan oleh trem bertenaga uap. Di dalam kota di negeri Belanda, kuda – kuda masih dipakai untuk menarik angkutan umum itu pada tahun 1881, orang orang Jerman menawarkan rit pertama dengan trem listrik.
Beberapa tahun kemudian, seorang Belanda yang bernama Vaals mendapatkan ide cemerlang yang memungkinkan penyaluran aliran listrik dari atas tubuh trem(bovenleiding) untuk menjalankanya (sehingga tidak perlu membongkar jalan untuk membuat saluran listrik itu). Sejak itu baik trem yang bertenaga kuda maupun trem yang bertenaga uap dilengkapi dengan alat itu sehingga akhirnya di Belanda terbentuk jaringan trem listrik yang lebih murah daripada jaringan kereta api.
Walaupun ide electrische bovenleiding (aliran listrik jalur atas) ditemukan pada tahun 1884, ide itu baru dapat di peraktekan tahun 1899. Trem pertama di seluruh wilayah Kerajaan Belanda yang menggunakan ide inovatif itu adalah trem listrik di Batavia. Pada waktu itu angkutan umum di dalam kota dilayani trem bertenaga kuda dan kereta – kereta kuda yang bisa disewa oleh siapapun. Jalur kereta api juga sudah ada diantara Batavia dan Buitenzorg (Bogor) sejak tahun 1873.
( Frieda.amran@yahoo.com, anggota Asosiasi Antropologi Indonesia )