"KOMUNITAS PECINTA SEJARAH KOTA TUA"

Sabtu, 01 Oktober 2011

Nona Cantik di Trem Listrik

Di perpustakaan KITLV (Koninklijk Instituut Voor het Taal-Land-en Volkenkunde) di leiden ada sebuah buku berjudul Nederlands-indie (wa VAN Rees. Leiden: AW Sijthoff, 1881). Walaupun cerita buku ini sebetulnya fiksi, kehidupan di Batavia pada akhir abad ke-19 dituturkan dengan rinci.
Wa Rees mengawali ceritanya dengan menggambarkan perasaan Tuan Leeghancker ketika pertama kali naik trem listrik di kota Batavia. Di atas trem, lelaki Belanda itu tidak hanya melihat, tetapi terpaksa duduk berdekatan bahkan mencium bau tubuh para inlander.
Semua orang, apakah ia berkulit putih, kuning, ataupun sawo matang boleh naik dan duduk di kursi manapun. Trem itu ternyata bukan semata – mata angkutan umum saja. Trem Listrik Batavia menjadi ajang pertemuan antarbangsa. Pada waktu itu untuk naik trem dari Kota ke Kramat orang harus membayar sepuluh sen; sebanyak itu pula ongkos untuk pergi dari Kramat ke Mester Cornelius.
Trem itu berhenti, dua orang cina naik. Mereka tersenyum lebar. Dibalik topi, tampak kepala mereka yang hamper botak dicukur. Dari ubun – ubun mereka tergantung kepang panjang.
Lonceng tembaga kondektur trem berbunyi setiap ada penumpang naik. Pertama – tama naiklah seorang lelaki Arab yang berwiawa. Ia berjanggut tebal dengan sorban merah di kepalanya. Lonceng itu berbunyi lagi, seseorang berkulit gelap naik bersama seorang nona cantik. Seorang perempuan Jawa dan anaknya naik di halte berikutnya. Akhirnya, naikpula seorang pedagang Belanda berpakaian putih. Ia langsung duduk dan mulai membaca Koran.
Setiap kali seorang penumpang baru duduk di sebelahnya, Leeghancker pindah tempat duduk. Pertama – tama, ia pindah ke kursi lain untuk menghindari kedua lelaki Cina yang ribut itu; lalu ia pindah lagi supaya tidak tersentuh jubah lelaki Arab bersorban merah tadi. Ia juga tak ingin mencium bau minyak kayu putih ditubuh orang itu. Si perempuan Jawa tampak sopan, akan tetapi kulit perempuan itu tampak kotor dimatanya; sawo matang! Dan kakinya telanjang! Pasir dan kerikil kecil menempel di kaki itu.
Namun, seseorang di trem itu membuat matanya tak berkejap; si nona cantik. Sesekali ia bertemu pandang dengan mata si Nona.
(Frieda.amran@yahoo.com, anggota Asosiasi Antropologi Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar