"KOMUNITAS PECINTA SEJARAH KOTA TUA"

Selasa, 04 Oktober 2011

Pembantaian di Batavia Tahun 1740





Kejatuhan industri gula mempengaruhi suplai dunia, dan pasar Eropa turut berperan dalam peristiwa pembantaian kaum Tionghoa di Batavia tahun 1740.
Imigran Tionghoa menjadi buruh industri gula mengakibatkan kelebihan sumber daya manusia dan banyak buruh yang tidak mendapat pekerjaan di tahun 1730. VOC merespon dengan serangkaian penahanan dan deportasi imigran Tionghoa serta memperketat peraturan.
VOC juga memberlakukan regulasi terhadap migrasi Tionghoa ke Batavia dengan mengimplementasi sistem ijin huni di tahun 1690. sistem ini mensyaratkan seluruh Tionghoa di Batavia untuk membawa bukti administrasi, jika tidak akan terkena risiko penahanan.
Hukuman dan pengusiran terhadap penduduk ilegal Tionghoa menjadi praktik umum. VOC seringkali mendeportasi mereka kembali ke tanah airnya atau memindahkanya ke Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Sistem ini juga sebaiknya diterapkan untuk orang pribumi tetapi tidak pernah dilaksanakan.
Kenaikan jumlah penahanan imigran Tionghoa di bawah sitem baru, dan kombinasi dengan praktik korupsi dan pungli yang memeras Tionghoa untuk menerbitkan izin tinggal membuat rumor semakin kencang di daerah lain. Rumor lain menyebutkan bahwa seluruh Tionghoa akan dibuang ke Cylon (Srilanka). VOC mengeluarkan resolusi di tanggal 25 Juli 1740, memerintahkan semua Tionghoa yang dicurigai, baik yang memiliki izin tinggal atau tidak untuk ditahan.
Karena VOC sudah membuang orang Tionghoa yang tidak terdaftar dan ditemukan tanpa izin di Batavia, dan juga mereka dihukum atas perbuatan kriminal, maka rumor yang beredar di kalangan buruh Tionghoa seolah menjadi kenyataan.
Buruh Tionghoa bereaksi dengan mempersenjatai diri dengan menyerang pabrik gula dan melampiaskan kemarahan mereka terhadap siapa saja yang bekerja sama dengan VOC. Mereka terus bergerak kemudian melanggar perbatasan tembok kota, dan berniat melakukan serangan umum.
Serangan itu tanpa harapan, dengan mudah dijinakan oleh Belanda yang memiliki keunggulan persenjataan. Tanggal 9-10 Oktober 1740 VOC dan kolaborator pribumi yang mengabdi pada VOC, melampiaskan dendam dengan menyerang pusat pemukiman dan pusat bisnis Tionghoa yang dihuni kurang lebih 7.000 Tionghoa. Estimasi korban pembunuhan paling sedikit 1.000 orang. Pemerintah memang tidak memerintahkan pembantaian secara resmi, tapi membiarkan aksi pembantaian itu terjadi. Di tahana kota, 500 orang Tionghoa juga digiring satu persatu dan ditembak mati. Selama seminggu kota penbuh dengan api dan kanal kota banjir dengan darah

( ito/berbagi sumber )

Nisan VOC di Batavia

Masa pemerintahan VOC di Batavia meninggalkan banyak warisan sejarah. Salah satu artefak yang cukup penting adalah batu nisan, yakni batu yang dibaringkan di atas makam. Batu-batu nisan masa VOC di Batavia ditemukan dalam jumlah banyak. Sebagian besar batu nisan kini disimpan di Museum Taman Prasasti. Sebagian kecil ada di Museum Wayang, Gereja Sion, dan Pulau Onrust.
Umumnya batu nisan tersebut berbentuk persegi empat dan terbuat dari batu yang keras. Panjangnya sekitar dua meter, dengan lebar sekitar satu meter. Batu nisan ini dipahat dalam berbagai bentuk lambing heraldik dan bentuk inskripsi. Di Batavia batu nisan merupakan pelengkap makam Kristen.
Dulu system makam VOC adalah system kelder atau ruang bawah tanah. Dalam satu makam bisa berisi lebih dari satu jenazah yang tahun meninggalnya berlainan. Pesan-pesan pada batu nisan dibuat dalam bentuk verbal (inskripsi), ada juga dalam bentuk non-verbal (ikonis). Keduanya merupakan ekspresi latar belakang bduaya komunitas pengguna pesan-pesan tersebut semasa mereka hidup.
Dari hasil penelitian Lilie Suratminto (Makna Sosiohistoris Batu Nisan VOC di Batavia, 2008), disimpulkan bentuk dan jenis batu nisan sangat tergantung dari jabatan yang pernah dipegang seseorang. Batu-batu nisan para pejabat penting umunya dari batu yang kualitasnya lebih bagus. Sementara batu nisan dari pejabat-pejabat rendah dari batu biasa.
Nisan paling tua adalah milik Maria Caen (tahun 1640), kini tersimpan di Museum Wayang. Sebenarnya ada yang lebih tua, tetapi tinggal sepotong. Artefak itu ditemukan pada penggalian tahun 19038 oleh Dinas Purbakala Hindia-Belanda pimpinan WF Stutterheim dalam rangka mencari makam JP Coen. Nisan itu atas nama Francoisa.
Bahasa dalam inskripsi sebagian besar bahasa Belanda yang berasal dari abad ke-17 atau ke-18. Ciri utamanya adalah belum memiliki keseragaman ejaan., misalnya kata coopman (saudagar) kadang ditulis kopman atau gebooren (dilahirkan) ditulis gheboren. Selain itu banyak kosa kata yang lazim pada masa VOC tidak dipergunakan lagi dalam bahasa Belanda modern.
Menurut Lilie, berdasarkan status sosial orang yang di makamkan, nisan VOC terbagi atas 9 kelompok, yakni Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Gubernur dan Direktur Jenderal Hindia Belanda, anggota Dewan Hindia Belanda, anggota Dewan Kota anggota Dewan Gereja, saudagar/syahbandar/perizinan, angkatan perang/keamanan/peralatan, pribumi, dan orang-orang yang tidak mempunyai jabatan.

(Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)

JP Coen, Tokoh Kontroversial

Nama Jan Pieterszoon Coen populer dalam buku-buku sejarah sebagai pemimpin VOC pendiri kota Batavia. Dia lahir pada tahun 1587 dan wafat pada tahun 1629. namun dalam hidupnya yang relatif singkat itu (42 tahun), dia dikenal sebagai tokoh kontoversial yang bengis. Bahkan ada yang menyamakanya dengan penjahat perang masa kini.
Berbagai julukan disandang Coen, antara lain Ijzeren Jan, Jan Besi, dan Mur Jangkung. Beberapa hari sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, ia masih menyiksa anak asuhnya Sarah, yang ketahuan main serong dengan seorang pelaut. Sang pelaut pun dihukum mati.
Coen lahir di Hoorn, kota pelabuhan cantik di Belanda Utara. Kota ini sarat museum dan monumen. Salah satu monumen penting di Hoorn adalah patung Coen yang berdiri megah di alun-alun pusat kota. Dilihat dari segi artistik sebagaimana ditulis Radio Nederland Siaran Indonesia, patung itu indah. Namun bagi sementara kalangan, patung Coen dipandang sangat menggangu.
Alasanya, patung itu melambangkan penghormatan terhadap seorang pembantai terbesar dalam sejarah Belanda. Karena itu Eric van de Beek, pemerkasa Burgerinitiatief atau Prakarsa Warga, ingin agar patung itu dipindahkan dari alun-alun Hoorn ke museum.
Dimasa itu, jauh sebelum ada istilah genosida, Coen merupakan tokoh bertangan besi dan banyak mencabut nyawa orang. Kekejamanya yang paling besar adalah membinasaan penduduk Banda. Ketika itu mereka melawan monopoli VOC karena tidak mau menjual pala dengan harga murah.
Coen juga yang coba membuat Batavia seperti Hoorn, kota kelahiranya. Disini Coen dibangga-banggakan oleh pemertintah kolonial. Bahkan ketika itu gambarnya menghiasi uang gulden. Selain itu didirikan pulapatung Coen di Waterlooplein, sekarang Lapangan Banteng. Patung ini kemudian digusur oleh tentara pendudukan Jepang.
Dikota kelahiranya, patung Coen sudah diprotes sejak lama. Penyebabnya, Pemda menolak memindahkan patung yang diresmikan pada tahin 1893 itu. Namun baru beberapa tahun belakangan ini Pemda Kotapraja Hoorn bersedia mencari kompromi. Entah disengaja atau tidak disengaja, pada pertengahan tahun 2011 patung Coen terseruduk truk pembawa katrol. Akibatnya patung itu mengalami kerusakan berat dan harus diperbaiki.

(Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)

Sabtu, 01 Oktober 2011

Nona Cantik di Trem Listrik

Di perpustakaan KITLV (Koninklijk Instituut Voor het Taal-Land-en Volkenkunde) di leiden ada sebuah buku berjudul Nederlands-indie (wa VAN Rees. Leiden: AW Sijthoff, 1881). Walaupun cerita buku ini sebetulnya fiksi, kehidupan di Batavia pada akhir abad ke-19 dituturkan dengan rinci.
Wa Rees mengawali ceritanya dengan menggambarkan perasaan Tuan Leeghancker ketika pertama kali naik trem listrik di kota Batavia. Di atas trem, lelaki Belanda itu tidak hanya melihat, tetapi terpaksa duduk berdekatan bahkan mencium bau tubuh para inlander.
Semua orang, apakah ia berkulit putih, kuning, ataupun sawo matang boleh naik dan duduk di kursi manapun. Trem itu ternyata bukan semata – mata angkutan umum saja. Trem Listrik Batavia menjadi ajang pertemuan antarbangsa. Pada waktu itu untuk naik trem dari Kota ke Kramat orang harus membayar sepuluh sen; sebanyak itu pula ongkos untuk pergi dari Kramat ke Mester Cornelius.
Trem itu berhenti, dua orang cina naik. Mereka tersenyum lebar. Dibalik topi, tampak kepala mereka yang hamper botak dicukur. Dari ubun – ubun mereka tergantung kepang panjang.
Lonceng tembaga kondektur trem berbunyi setiap ada penumpang naik. Pertama – tama naiklah seorang lelaki Arab yang berwiawa. Ia berjanggut tebal dengan sorban merah di kepalanya. Lonceng itu berbunyi lagi, seseorang berkulit gelap naik bersama seorang nona cantik. Seorang perempuan Jawa dan anaknya naik di halte berikutnya. Akhirnya, naikpula seorang pedagang Belanda berpakaian putih. Ia langsung duduk dan mulai membaca Koran.
Setiap kali seorang penumpang baru duduk di sebelahnya, Leeghancker pindah tempat duduk. Pertama – tama, ia pindah ke kursi lain untuk menghindari kedua lelaki Cina yang ribut itu; lalu ia pindah lagi supaya tidak tersentuh jubah lelaki Arab bersorban merah tadi. Ia juga tak ingin mencium bau minyak kayu putih ditubuh orang itu. Si perempuan Jawa tampak sopan, akan tetapi kulit perempuan itu tampak kotor dimatanya; sawo matang! Dan kakinya telanjang! Pasir dan kerikil kecil menempel di kaki itu.
Namun, seseorang di trem itu membuat matanya tak berkejap; si nona cantik. Sesekali ia bertemu pandang dengan mata si Nona.
(Frieda.amran@yahoo.com, anggota Asosiasi Antropologi Indonesia)

Trem Inovatif Pertama Belanda di Batavia


Pada tahun 1808, Daendels memulai pembangunan De Grote Postweg ( Jalan Raya Pos ) yang membentang dari Anyer di ujung barat Pulau Jawa sampai ke Panarukan di ujung timurnya. Seribu kilometer panjangnya. Bukan main banyaknya nyawa rakyat Indonesia yang dikorbankan demi pembangunan jalan itu. Jalan raya yang sedemikian panjang melewati gunung, dan lembah selesai dalam waktu satu tahun saja.
Setelah adanya Jalan Raya Pos, lalulintas di darat menajdi lebih mudah. Orang jadi lebih cepat dalam bepergian dengan kereta kuda, kursi usungan ataupun kuda, sepeda kemudian juga banyak digunakan. Kecepatan dan kenyamanan perjalanan semakin bertambah ketika kereta api dan mobil mulai digunakan di Hindia-Belanda. Perjalanan antar pulau di Nusantara dilakukan dengan kapal layar dan kapal api.
Dengan adanya kapal api, perjalanan dari Batavia ke negeri Belanda yang dulunya memerlukan waktu sekitar setengah tahun, menjadi lebih pendek: hanya enam minggu saja.
Di negeri Belanda, Trem pertama yang digunakan pada tahun 1864 ditarik oleh beberapa ekor kuda, walaupun trem kuda yang pertama sudah digunakan di New York pada tahun 1832. Angkutan penumpang ini munculm dari ide menggabungkan bentuk gerobak pengangkut barang dengan kereta perorangan yang ditarik oleh kuda.
Sejak sekitar tahun 1880, trem bertenaga kuda telah digantikan oleh trem bertenaga uap. Di dalam kota di negeri Belanda, kuda – kuda masih dipakai untuk menarik angkutan umum itu pada tahun 1881, orang orang Jerman menawarkan rit pertama dengan trem listrik.
Beberapa tahun kemudian, seorang Belanda yang bernama Vaals mendapatkan ide cemerlang yang memungkinkan penyaluran aliran listrik dari atas tubuh trem(bovenleiding) untuk menjalankanya (sehingga tidak perlu membongkar jalan untuk membuat saluran listrik itu). Sejak itu baik trem yang bertenaga kuda maupun trem yang bertenaga uap dilengkapi dengan alat itu sehingga akhirnya di Belanda terbentuk jaringan trem listrik yang lebih murah daripada jaringan kereta api.
Walaupun ide electrische bovenleiding (aliran listrik jalur atas) ditemukan pada tahun 1884, ide itu baru dapat di peraktekan tahun 1899. Trem pertama di seluruh wilayah Kerajaan Belanda yang menggunakan ide inovatif itu adalah trem listrik di Batavia. Pada waktu itu angkutan umum di dalam kota dilayani trem bertenaga kuda dan kereta – kereta kuda yang bisa disewa oleh siapapun. Jalur kereta api juga sudah ada diantara Batavia dan Buitenzorg (Bogor) sejak tahun 1873.
( Frieda.amran@yahoo.com, anggota Asosiasi Antropologi Indonesia )

Sabtu, 10 September 2011

Masjid Istiqlal Dirancang Seorang Protestan



Tentu anda pernah mendengar nama Masjid Istiqlal, bukan? Masjid ini terletak di dekat kantor Presiden RI, juga berjarak sekitar dua ratus meter dari Lapangan Banteng. Jika ada peristiwa – peristiwa penting keagamaan, Presiden RI bersama sejumlah petinggi negaralain dan duta besar negara sahabat, selalu hadir disini.
Masjid Istiqlal diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1978. kini Istiqlal, yang berarti “merdeka”, menjadi masjid nasional sekaligus masjid terbesar di tanah air, bahkan masjid terbesar di Asia Tenggara. Dengan luas bangunan sekitar empat hektar dan luas tanah sembilan hektar kompleks Istiqlal mampu menampung hingga 70 ribu orang sekaligus pada waktu bersamaan. Selain memiliki bangunan induk dan kubah, Istiqlal dilengkapi dengan emper penghubung, teras raksasa dan menara, taman, air mancur, serta ruang wudhu yang luas.
Masjid Istiqlal dibangun selama 17 tahun, dimulai pada 24 Agustus 1961, ditandai peletakan batu pertama oleh Presiden Soekarno. Rencana pembangunan Istiqlal sendiri muncul pada ytahun 1950. saat itu menteri agama, KH Wachid Hasyim, melansir gagasan membangun sebuah masjid yang berskala nasional dan mencerminkan jati diri bangsa Indonesia. Bersama Agus Salim, Anwar Tjokroaminoto, dan Ir Sofwan, mereka membentuk yayasan Masjid Istiqlal.
Pada tahun 1954 Presiden Soekarno menyetujui gagasan tersebut. Diputuskan bahwa arsitektur masjid disayembarakan secara terbuka. Presiden Soekarno sendiri yang menjadi Ketua Dewan Juri, dibantu Ir Rooseno, HAMKA ( Haji Abdul Malik Karim Amrullah ), dan Oemar Husein Amin. Pada 5 juli tahun 1955 panitia sayembara mengumumkan desain yang berjudul “Ketuhanan” sebagai pemenang. Perancangnya adalah Frederich Silaban, seorang arsitek yang kelak disebut Soekarno sebagai “ By the Grace of God ”.
Jatuhnya pilihan pada rancangan tersebut, tentu bukan suatu kebetulan, ada dua koinsidensi yang menarik disini. Pertama, Silaban merupakan seorang penganut Protestan yang taat. Kedua, posisi Istiqlal berhadapan dengan Gereja Katedral di sebelah selatan.
Dua koinsidensi yang muncul dibalik pembangunan Masjid Istiqlal, menunjukan bagaimana konsep toleransi beragama dikembangkan begitu halus dan sistematik. Tradisi toleransi beragama seperti ini harus menjadi salah satu penanda jati diri nasional.

( Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya )

Riwayat Olimo



Bila naik bus Transjakarta dari atau menuju ke halte Jakarta Kota, nama halte Olimo selalu disebut. Letaknya tak jauh dari kawasaan Glodok atau Manggabesar. Sejak lama memang nama Olimo Sudah Populer ditelinga masyarakat. Sopir – sopir angkutan umum pasti mengenal nama ini. Olimo, Bagaimana riwayatnya?..
Nama Olimo berasal dari nama perusahaan Belanda NV Olimo yang berdiri pada tahun 1914. perusahaan ini bergerak di bidang otomotif, antara lain mengimpor aksesori, suku cadang, minyak pelumas, dan vernis. Dalam iklan – iklan media cetak tahun 1940-an, nama NV Olimo masih populer. Kantor pusat perusahaan ini berlamat di 121 Molenvliet Oost. Sementara kantor cabangnya yang lumayan besar terdapat di bandung, Surabaya, dan medan.
Kala itu nama Olimo hampir selalu dihubungkan dengan kalangan berduit. Mungkin bisa dimaklumi karena hanya orang – orang kaya yang mampu memiliki mototr dan mobil. Lokasi Olimo disisi Sungai Ciliwung yang ramai, menjadikan namanya tidak lepas dari ingatan. Kini lokasi NV Olimo berada di belokan Jalan Hayam Wuruk ke arah Jalan Manggabesar.
Pesatnya perdagangan menjadikan Olimo semakin memudar perananya. Pada tahun 1970-an sempat berubah menjadi PT. Olimo, namun akhirnya tidak bisa menghindar dari ketatnya persaingan bisnis. Akhirnya pada tahun 1990-an gedung Olimo dibongkar, berganti menjadi gedung bank. Hanya namanya tetap melegenda, mungkin tetap bertahan sepanjang masa.
Berbagai usaha atau kantor kemudian banyak memakai nama Olimo. Yang lumayan terkenal adalah Bubur Olimo. Rumah makan ini menjual bubur ayam. Keberadaanya dikawasan itu termasuk langgeng karena mampu bertahan hingga kini. Bubur Olimo yang semula dikenal sebagai bubur hostes, berdiri sejak 1950-an. Saat ini ditangani oleh generasi ketiga.
Disebut bubur hostes karena ketika itu ( tahun 1970-an ), bisnis hiburan malam termasuk night club dan kasino, marak di Jakarta. Pengunjung night club dan kasino sering makan bubur ayam ditemani para hostes ( pramuria ). Karena citra hostes kurang bagus namun populer, jadilah nama itu yang dipakai. Selain rumah makan, beberapa perusahaan memakai nama Olimo, diantaranya biro jasa, perumahan, and kantor pengacara

( Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya )

Kapiten Cina



Ketika VOC menduduki Batavia pada tahun 1619, ada kurang lebih 400 orang Cina yang hidup disana. Jumlah ini meningkat jadi 800 orang pada tahun berikutnya. Ketika Jan Pieterszoon Coen ditunjuk sebagai Gubernur, dia dia memutuskan untuk menunjuk seorang kapiten ( kapten ) yang menjadi pemimpin mereka untuk menyelesaikan masalah – masalah kecil dalam kelompoknya.

Kapiten yang pertama ini adalah Souw Beng Kong, yang kemudian menajdi teman baik Coen. Tugas kapiten Cina adalah menangani administrasi bagi penduduk Cina yang akan keluar, menetap atau akan menikah, selain itu mereka juga menangani masalah kejahatan, pesta – pesta dan izin – izin.

Tugas lain yang penting adalah menangani berbagai macam pajak, misalnya : Pajak jalinan rambut panjang, Pajak kuku panjang ( menandakan orang kaya yang sanai ), Pajak judi dan candu ( Alwi Shahab, 2001 )
Pelantikan seorang kapiten diadakan sangat meriah. Tahun 1685 merupakan puncak sejarah dari berbagai upacara ini, menurut deskripsi Hoetink, calon kapiten ke kantor Kotapraja dalam sebuah tandu yang dipikul oleh delapan orang dan di dahului ratusan budak yang membawa bendera serta lentera serta ratusan orang Cina yang membawa lambang – lambang kekuasaanya. Setiba di kantor Kotapraja, keputusan Gubernur Jenderal mengenai pengangkatanya dibacakan di depan umum dan terdengarlah dentuman meriam ( Myra Sidharta, 1994 ).

Jabatan Kapiten Cina, dengan kekuasaanya yang besar, memang merupakan posisi prestisius hingga mereka akan melakukan berbagai cara untuk melakukanya, antara lain : menjamu para pegawai Kompeni dengan minuman – minuman keras dirumahnya, juga menyuap dengan memberikan recognitiegeld ( uang yang dibayar setiap tahun sebagai pengakuan atas hak ).

Bahkan pernah ada orang Cina yang berjanji akan memberikan tanah diluar kota kepada anggota pemerintahan Cranssen ( 1812 ). Memang pangkat perwira bisa memberi kehormatan dan kekayaan, karena dari pemasukan judi dan candu sebesar 45 ribu Ryksdealders (Rds )/tahun, perwira Cina mendapat 15 ribu Rds/tahun ( Ensiklopedi Jakarta, Jakarta.co.id ). Namun seiring perkembangan jaman, peran dan kekuasaan Kapiten Cina perlahan – lahan mulai memudar.

( Lily Utami, pemerhati social dan budaya )

Wisata Sejarah Tempo Dulu

Ternyata berwisata mengunjungi tempat – tempat bersejarah sudah dilakukan sejak dulu. Buktinya dalam Koran Bintang Betawi edisi Juli tahun 1902 terdapat artikel yang mengajak para pembaca dan pendatang untuk jalan – jalan mengunjungi tempat atau bangunan – bangunan bersejarah di Betawi yang ada pada masa itu.
Rute perjalanan juga diberikan untuk memudahkan menyusuri kota. Mau tau kemana saja wisata sejarah kota Betawi dilakukan pada tahun 1902 ?? ini dia :
Perjalanan pertama dimulai dari Petja Koelit kuburanya Pieter Erbeveld, dimana terdapat sebuah tugu peringatan dengan tengkorak kepala Piter yang telah ditancapkan sebuah tombak dan ada sebuah prasasti di bawahnya. Konon Peter adalah satu kepala penyamun yang sudah dihukum robek badanya oleh empat ekor kuda maka itu tempat tersebut dikasih nama Petja Koelit.
Dari ini tempat baek pergi ke jembatan Senti, dimana ada satu gereja besar bernama The Portugeesche Buitenkerk yang umurnya ada lebih 200 tahun, sebab ini gereja mulai dibuka di hari minggu tanggal 23 Oktober 1695, dengan pemberkatan oleh pendeta Theodorus Zas. Dari sini terus ke Kali Besar dimana ada banyak rumah dari tempo dahulu kala yang sekarang dibikin toko.
Dari Kali Besar baik berjalan mudik ke Mangga Besar dimana ada satu gardu papan yang umurnya sudah lebih dari 100 tahun, ke Kebon Jeruk dimana ada satu masjid umurnya lebiuh dari 200 tahun, dank e Molenvliet Kulon depan kampong Jawa, dimana ada satu rumah bekas istananya satu Gouverneur Generaal di tempo dulu kala.
Penghabisan baik datang di kantor Palaes di Weltevreden dimana boleh mendapat liat gambar – gambar Gouverneur Generaal dari yang pertama hingga gouverneur Generaal yang baru berangkat, tapi siapa suka datang melihat sekalian jenis yang ada di wartakan di atas, musti datang di hari Minggu dengan senang boleh diperiksa apa yang ingin dilihat. Kalau hendak dateng ke kantor Palaes, baik kasih tahu dulu pada tuan Beerhorst yang jaga kantor itu. ( Bintang Betawi, Juli 1902 )
Kalau kita telusuri saat ini, beberapa tempat bersejarah tersebut ada yang sudah tidak ada, berpindah tempat, atau tidak dapat lagi dikunjungi. Namun ada juga yang keberadaanya masih dapat kita jumpai, seperti Kampung Pecah Kulit yang berada di jalan Pangeran Jayakarta, The Portugeesche Buitenkerk yang lebih dikenal dengan Gereja Sion, dan Masjid Kebon Jeruk.

( Lily Utami, pemerhati social dan budaya )

Sabtu, 27 Agustus 2011

Eksekusi dan Pemotongan





Hukuman mati di Batavia sangat tinggi. Pada awal abad ke-18, Amsterdam yang memiliki 210.000 penduduk, hanya melakukan lima hukuman mati per tahun. Di Batavia angka ini menjadi dua kali lebih besar, padahal jumlah penduduk hanya 130.000.
Seseorang akan dihukum mati bila membunuh, baik terencana maupun tidak terencana. Begitu juga bila memperkosa atau menculik. Biasanya hukuman mati dilakukan dengan cara pemenggalan untuk masyarakat sipil, dan tembak mati untuk tentara.

Pada kasus-kasus berat malah ditambah pemotongan anggota badan. Pada kasus paling berat terhukum akan diikat pada roda, semua anggota badan dipukuli agar patah, juga ditusuk di atas tiang besi. Hukum jenis ini memang tergolong kejam karena dia akan meninggal secara perlahan-lahan dengan penderitaan fisik luar biasa.

Hukuman pancung dianggap paling bermasalah karena suatu waktu pernah sang algojo tiba-tiba jatuh sakit. Ketika itu tidak ada penggantinya yang bisa memenggal. Hukuman gantung pernah dilakukan. Namun kemudian digantikan hukuman lain karena dianggap tidak terhormat.

Pada abad ke-17 dan ke-18 kegiatan homoseksualitas dianggap dosa paling berat karena dipandang melanggar perintah Tuhan. Mereka yang ketahuan akan dihukum mati. Kedua pria yang akan dihukum diharuskan berhadapan punggung lalu diikat. Setelah itu dimasukkan ke dalam karung dan ditenggelamkan. Hukuman yang sama diberlakukan untuk orang yang melakukan seks dengan binatang atau sodomi.

Hukum di Batavia benar-benar tidak pandang bulu. Petrus Vuyst, Gubernur di Ceylon (1729-1732) dihukum mati di sini. Gara-garanya dia dianggap sangat kejam terhadap pegawai Kompeni dan penduduk lokal Ceylon. Dia diikat dan didudukkan telanjang di atas kursi. Lalu lehernya ditusuk dengan pisau. Badannya dipotong menjadi empat bagian, dibakar, dan abunya disebar.

Namun pengadilan tetap saja ada yang tidak adil. Sesekali penyalahgunaan kekuasaan dilakukan oleh Gubernur Jendral atau Dewan Pemerintah Harian. Yang paling dikenal adalah kasus Pieter Erberveld, yang dianggap mau memberontak kepada Kompeni.

Pelaksanaan eksekusi dilakukan di sebuah panggung di depan balaikota. Yang lebih ringan dilaksanakan di bagian belakang gedung, dengan cara digantung. Sementara pelaksanaan eksekusi dari Dewan Pengadilan dilakukan di sebuah lapangan di depan kastil.

Pada saat-saat terakhir si terhukum didampingi seorang tenaga rohani yang memimpin doa dari alkitab. Hal ini juga berlaku bagi orang Islam dan China. Diharapkan pada saat terakhir mereka mau mengganti agama dan menjadi Kristen.

Eksekusi biasanya dilakukan pagi hari setelah lonceng di menara balaikota dibunyikan. Beberapa jam kemudian jenazah dibawa ke lapangan tiang gantung, dipajang di sana pada roda sampai hancur sendiri.

Bagi masyarakat Eropa, eksekusi mati merupakan hiburan. Sebaliknya bagi orang Asia, kematian adalah bentuk pengorbanan manusia.

(Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)

Jumat, 05 Agustus 2011

Benteng Berlan dan Jaga Monyet

Biasanya benteng terdapat di sepanjang pantai, terutama antara Sunda Kelapa, Ancol, dan Tanjung Priok. Namun Benteng Berlan termasuk kekecualian. Benteng ini terdapat di kompleks militer Berlan, Jalan Matraman Raya, Jakarta Timur. Bangunan benteng terletak di tepi Sungai Ciliwung, membentang arah timur-barat tidak jauh dari pintu air Manggarai.

Namun sekarang Benteng Berlan sudah tidak terlihat sisanya, karena di atasnya sudah berdiri perumahan penduduk. Hanya bangunan tangsi masih digunakan sebagai tempat tinggal sampai sekarang, meskipun bentuk fisiknya sudah mengalami perubahan. Demikian juga dengan barak – barak militernya.

Seperti halnya Benteng Berlan, Benteng Jaga Monyet juga jarang disebut – sebut. Benteng ini merupakan penhgganti Benteng Rijswijk yang didirikan pada tahun 1668. aslinya bernama Apenwacht, namun lebih populer dengan nama Jaga Monyet.

Dulu tempat ini ssangat sepi. Karena para tentara tidak mempunyai pekerjaan, mereka sering kali menjaga monyet yang bermain di pohon – pohon besar disekitar pos mereka bertugas. Setelah peristiwa pembantaian orang – orang Cina pada tahun 1740, sebuah benteng persegi yang lebih kuat dibangun dan delapan meriam diletakan diatas temboknya.

Sesudah masa kekuasaan Inggris benteng ini dibongkar. Pada masa penjajahan jepang, tempat ini digunakan sebagai asrama militer. Perkembangan selanjutnya gedung ini digunakan sebagai pertokoan dibelakang gedung Bank Tabungan Negara Harmoni.

Benteng lainya yang masih terasa asing ditelinga adalah Benteng Grientenburg, benteng ini merupakan benteng segitiga, berlokasi di sudut selatan pertemuan Kali Besar ( Ciliwung ) dengan saluran Molenvliet. Sebagai mana lazimnya bangunan benteng, lantai bastion ( benteng pertahanan ) dibuat lebih tinggi, sehingga diperluka tangga untuk naik ke bastion.

Di dalam benteng terdapat bangunan – bangunan seperti menara mesiau, bangunan untuk menampung air, dan bangunan penjagaan. Tinggi tembok benteng segitiga ini sekitar dua meter.
Benteng Grientenburg merupakan tempat untuk menampung para pekerja lepas, benteng ini sebenarnya merupakan perluasan dari Benteng Batenburg. Pada tahun 1809 Benteng Grientenburg dihancurkan oleh Daendels.

( Djulanto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya )

Jumat, 22 Juli 2011

Permainan Anak Betawi



Permainan anak – anak Betawi pada hakikatnya tidak banyak brebeda dengan permainan anak – anak dari daerah lain di Indonesia, terutama dengan permainan anak – anak di Jawa. Uniknya, persamaan ini bukan dengan permainan anak – anak Jawa Barat, yang wilayahnya lebih dekat, bahkan berbatasan. Hal ini kamungkinan besar karena banyak orang dari suku jawa yang terdampar di pinggiran betawi – yaitu prajurit – prajurit Sultan AgungMataram yang menyerang Batavia pada tahun 1628 dan 1629.

Beberapa macam permainan anak – anak Betawi tersebut hanya berbeda pada nama dan nyanyianya saja dengan permainan anak – anak dari Jawa, sedangkan esensinya sama. Misalnya, permainan anak – anak Jawa Cublak – Cublak Suweng, di Betawi bernama Cublak – Cublak Uang.

Kelebihan permainan anak - anak Betawi mungkin pada jumlahnya yang kaya. Diperkirakan ada sekitar 40 macam. Ini dapat dimengerti karena etnis Betawi terbentuk oleh perpaduan berbagai etnis. Setiap etnis mungkin memberikan sumbangan ide dan pola permainan anak – anak dari daerahnya mashing – masing

Permainan anak – anak Betawi dewasa ini makin punah, factor penyebab kepunahanya sama dengan penyebab kepunahan unsur – unsur budaya Betawi lainya, yaitu modernisasi di segalka bidang kehidupan baik fisik maupun alam pikiran.

Di dalam beberapa jenis permainan anak – anak Betawi jika disimak lebih teliti sesungguhnya banyak mengandung aspek pendidikandan falsafah hidup. Misalnya permainan petok roti. Permainan mencari teman yang bersembunyi ini biasanya dilakukan pada malam hari. Padahal kota Jakarta pada waktu itu tidak seterang sekarang. Masih banyak tempat yang sepi dan gelap. Banyak pula pepohonan yang rimbun dan semak – semak. Beberapa tempat bahkan dibilang tempat yang angker alias banyak hantunya. Disini jelas maksud permainan ini adalah mengajar anak – anak menjadi orang yang pemberani.

Ada pula permainan tok – tok pintu atau gali – gali ubi. Permainan ini melambangkan agar anak betawi hendaknya bermurah hari.

Masih banyak lagi permainan anak – anak Betawi yang lain seperti Deng – ndengan , Wak – Wak Gung, Ciblak – Ciblak Uang, Ci – Ci Putri, Petak Ingo, Petak Umpet,Ttombok, Pletokan, Galah Asin, Bekel, Olelio, Bentengan dan banyak lagi permainan yang belum tercatat.

( Asep Setiawan, pemerhati budaya )

Mistik Betawi

konsep mistik Betawi dipengaruhi oleh Kebudayaan Jawa dan sedikit China. Konsep makhluk halus, atau masyarakat Betawi biasanya menyebutnya setan, amat menakutkan bagi anak – anak. Ada berbagai jenis setan dalam dunia anak – anak Betawi. Ada setan longga – longga yang tubuhnya tinggi besar. Setan ini tidak senang melihat anak – anak yang tidur sembarangan.
Ada kelongwewe, setan berwujud perempuan yang payudaranya sebesar bantal. Setan ini suka menyembunyikan anak – anak yang tidur di kolong tempat tidur.
Ada setan kicik, yang selain suka mencuri uang juga suka menjilati kaki anak – anak yang tidur tanpa mencuci kaki.

Sementara dalam siklus kehidupan kewanitaan dikenal ada setan yang suka menggangu wanita hamil. Setan ini disebut kuntilanak. Karena itu wanita hamil sering dianjurkan memakai penajem ( semacam alat penangkal ), misalnya pisau lipat atau gunting kecil yang digantung dileher seperti aksesoris.

Kuntilanak diyakini suka berayun – ayun di pohon yang rimbun. Karena itu batang pohon yang rimbun yang tumbuh dipekarangan dipantek dengan paku besar.

Untuk menghormati keberadaan para makhluk halus itu, para orang tua zaman dahulu menganjurkan agar bila terpaksa membuang air kecil di bawah pohon jangan asal mengucur saja. Tetapi, harus meminta izin dengan mengucapkan kalimat “ numpang – numpang “. Kalau tidak, bisa berakibat tidak baik.

Makhluk halus yang merasa terganggu dengan orang yang membuang air kecil sembarangan itu bisa marah, yakni dengan merasuki orang itu. Oarng itu menjadi kesurupan, suka mengamuk dan meracau. Jika sudah begini, tiga atau empat orang tak akan mampu menenangkanya. Maka jasa “orang pintar “diminta. Tempoe doloe, hamper setiap kampong memiliki “orang pintar“ yang dapat mengusir setan.

Orang yang kesurupan dipegang urat nadi tangan atau pergelangan kakinya. Sebelumnya bagian tubuh diolesi bangle atau bawang putih. Bagian tubuh yang dipegang “ orang pintar “ itu konon ada biji batunya sebesar biji kacang hijau. orang pintar akan memijit – mijit biji kacang hijau itu. Akibatnya, orang yang kesurupan berteriak – teriak dan minta maaf.

Biasanya, sebelum minta maaf dan pergi, makhluk halus yang merasuki itu akan menerangkan sebab – sebab dia merasuk kedalam tubuh orang yang kesurupan itu. Dan sebelum ia pergi, setan itu akan mengajukan syarat yang harus dipenuhi oleh keluarga korban yang kesurupan. Misalnya, minta disediakan kopi atau rokok yang disenangi setan itu. Setelah permintaan dipenuhi barulah setan itu pergi meninggalkan raga si korban.

( Asep Setiawan, pemerhati bdaya )

Jumat, 01 Juli 2011

Kisah Nama Jalan di Pecinaan

Disamping penhgaruh Belanda, pengaruh China di Jakarta merambah kemana – kemana, tak terkecuali dalam hal nama tempat atau nama jalan. Setelah pembantaian di Batavia pada tahun 1740, etnis China mendapat tempat khusus yang disebut Pecinaan lokasinya sekitar Pancora – Gelodok sekarang.
Ada nama – nama pengaruh China bisa dilihat dari nama – nama popular yang amsih sering disebut – sebut masyarakat, meskipun nama tersebut sudah berganti saat ini. Mungkin generasi sekarang cuma mendengar nama Jalan Jelakeng. Dulu, sebelum berganti menjadi Jalan Perniagaan Barat, nama Jelakeng cukup popular.
Jalan Jelakeng pada abad – 18 disebut Jalan “ Jie Lak Keng ”. dalam dialek Hokkian jie =2 dan lak =6, jadi bermakna 26 bangunan. Di kawasan ini dikabarkan pernah terdapat 26 bangunan yang semuanya dimanfaatkan untuk tujuan wisata. Ada pula yang berpendapat yang dimaksud adalah bangunan nomor 26.
Ketika itu pertengahan abad – 18, Jie Lak Keng menjadi “ Las Vegas”- nya Batavia. Orang – orang kaya dan ningrat dari mancanegara kerap datang ketempat ini. Lantai bawah umumnya digunakan untuk menghisap madat, sedangkan lantai atas untuk prostitusi dan judi. Musik gambang kromong selalu mengiringi kenikmatan sesaat itu.
Setelah berjalan hamper satu abad, pamor Jie Lak Keng memudar seiring berkembangnya rumah – rumah prostitusi dan madat di wilayah Glodok. Sekitar tahun 1930-an, Jie Lak Keng sudah menjadi kawasan perdagangan produk logam seperti paku, seng, besi beton, dan berbagai perkakas dari besi. Memasuki awal tahun 1980-an, kawasan perdagangan ini kalah populer oleh kawasan perdagangan dan pusat – pusat perbelanjaan baru yang tumbuh disekitarnya. Pada kisaran masa itu pula nama Jelakeng diganti menajdi Perniagaan Barat.
Sepperti halnya Jalan Perniagaan Barat, dulu Jalan Perniagaan Raya disebut Jalan Patekoan. Nama itu berasal dari Pa Tek Wan, pa atau pat = depan dan tek wan = poci. Konon, dulu seorang kapiten Tionghoa, Gan Djie, mempunyai isteri yang sangat baik. Tiap hari sang isteri menyiapkan delapan poci berisi air the dijalan itu agar masyarakat yang melintas dapat meneguk air bila kehausan. Persediaan air itu ternyata menjadi cirri bagi orang – orang yang ingin mencari kantor officer Tionghoa itu. Di mana ada pat-tek-koan, disitulah tempat tinggal Kapiten Gan.
Beberaqpa nama lain sudah berganti pula, seperti Jalan Souw Beng Kong di bagian kiri Jalan Pangeran Jayakarta dari arah Beos. Nama ini menjadi Jalan Taruna. Hanya nama Jalan Lautze yang masih bertahan sampai kini. Mungkin karena di lingkungan tersebut terdapat masjid untuk komunitas China Muslim.
( Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya )

Ex Me Ipsa Renata Sum


Gedung eks Balai Kota Batavia yang kini menjadi Musium Sejarah Jakarta ( MSJ ) masih menyisakan berbagai berbagai kisah kehidupan kota Batavia. Kisah gedung itu sendiri pun masih menarik disimak, berpadu dengan berbagai koleksi yang bukan hanya bisa dinikmati tapi yang paling penting, bisa dipelajari.
Masuk ke gedung bekas Stadhuis atau Balai Kota Batavia, menuju halaman belakang tersimpan pula beberapa koleksi yang menyatu dengan taman belakang. Sebut saja Patung Hermes, Meriam Si Jagur, dan Prasasti atau Monumen Pieter Erberveld.

Meriam perunggu bertuliskan “ ex me ipsa renata sum “ dan terkenal dengan nama Si Jagur kini berada di belakang taman MSJ. Persis dihadapan si meriam, berdiri patung Hermes. Sebelum sampai pada posisi sekarang ini, Meriam Si Jagur beberapa kali pindah tempat. Meriam Portugis ini dibawa ke Batavia oleh Belanda, setelah merebut Malaka tahun 1641, untuk ditempatkan di Benteng Belanda untuk menajga pelabuhan.

Menurut Adolf Heuken dalam Tempat – tempat bersejarah di Jakarta, arti kalimat berbahasa latin itu adalah “ dari sayasendiri aku dilahirkan kembali “. Dari kalimat es me ipsa renata sum itu, tersimpan symbol X, I dan V ( Ex Ipsa renata sVm ) yang memberi arti bahwa meriam itu dibikin dari 16 ( X + I + V ) meriam untuk benteng malaka.
Keunikan lain meriam itu adalah simbol Mano in Fica. Dalam kamus simbolisasi, Mano in Fica yaitu symbol jempol dalam kepalan tangan bermakna sebuah representasi kuno persatuan seksual atau persetubuhan. Dalam tradisi Roma, symbol itu di asosiasikan dengan kesuburan dan erotisme. Maka kisah tentang tahayul pun merebak sehingga dimasa lampau meriam ini dianggap keramat. Pasangan suami isteri yang menginginkan anak, mendatangi meriam ini untuk melakukan ritual menabur bunga dan kemudian menduduki meriam tersebut.

Museum Pusat ( kini museum nasional ) sempat menjadi tempat Si Jagur sebelum kemudian dipindah ke Msueum Wayang diseputar tahun 1968. kisah Akum, petugas MSJ yang sudah lebih dari 30 tahun membantu museum, “ saya ikut mangangkat Si Jagur masuk ke Museum Wayang “ sesuai dengan data Heuke yang menyebut, untuk menjaga Si Jagur, maka meriam ini disimpan di ruang bawah Museum Wayang.
Sekitar tahun 1974, meriam itu kemudian keluar dari persembunyian, diletakan di Taman Fatahillah hingga tertutup pedagang kaki lima.

( Pradaningrum Mijarto )

Matraman Medan Pertempura


konon kata matraman diambil dari kata Mataraman, karena kawasan itu dulunya dijadikan perkubuan oleh pasukan Mataram dalam rangka penyerangan kota Batavia melalui darat. Pasukan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung ketika itu dua kali menyerang VOC di Baravia pada tahun 1628 – 1629. sedang VOC saat itu dipimpin oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen.
Sejak saat itulah kubu pertahanan Mataram ini kemudian diabadikan menjadi nama tempat sehingga sekarang. Enath karena apa, lidah orang betawi waktu itu menyebut Mataram menjadi Mtraman.
Pada tahun 1811, di daerah Matraman terjadi pertempuran besar antara pasukan Inggris dengan pasukan Belanda yang dimenangkan oleh pasukan Inggris, dan menandai dimulainya masa pendudukan Inggris di Pulau Jawa. Thomas Raffles lalu membangun markas – markas militer dikawasan itu hingga Jatinegara ( Alwi Shahab, 2001 ).
Setelah berbagai pertempuran besar selesai dan beberapa markas militer dibangun, ternyata tidak menjamin daerah Matraman aman. Pada awal tahun 1900-an, kawasan tersebut bahkan menajadi tempat rawan kejahatan. Koran Bintang Betawi, yang terbit untuk wilayah Betawi dan sekitarnya memberitakan beberapa kejahatan yang pernah terjadi disitu, salah satunya dimuat pada tanggal 3 Juli 1902.
“ diceritakan bahwa belum lama berselang, seorang Belanda bernama Tuan V, diserang oleh satu soldadu peranakan yang langsung melompat naik kedalam dos-a-dosnya saat dia melewati daerah antara Salemba dan Mr Cornelis ( Jatinegara ). Setelah berhasil masuk, soldadu ini lantas menusuk Tuan V, beruntung tusukanya luput.
Tuan V segera turun dari dos-a-dosnya, sedang soldadu itu lalu memaksa kusir untuk membawanya pergi dari situ, Tuan V lantas mengambil dos-a-dos lain untuk mengejar soldadu itu. Tapi soldadu itu ternyata langsung berlari masuk ke dalam tangsi, lalu memanjat tembok dan menghilang.”
Saat ini, Matraman masih memiliki reputasi yang kurang sedap. Bentrok antar warga masih sering terjadi hanya karena masalah sepele. Mungkin semangat “ bertempur “ dari pasukan Mataram masih diwarisi oleh penduduk daerah itu, sayang pertempuran itu justru dilakukan sesama saudara sebangsa.
( Lily Utami, pemerhati masalah sosial dan budaya )

Baron von Imhoff, Orang Jerman di VOC


Di kota Leer, Jerman Utara, pada tanggal 8 Agustus tahun 1705 lahir Gustav Wilhelm Baron von Imhoff. Sejak muda von Imhoff sudah tertarik pada negeri – negeri nan jauh diseberang khatulistiwa. Kedekatanya dengan Belanda mempengaruhi pandanganya terhadap dunia. Cita – cita von Imhoff melanglang buana terwujud ketika dia menjadi pejabat VOC.
VOC banyak merekrut pemuda asal Jerman. Bahkan yang istimewa Voc juga merekrut orang Skotlandia, Polandia, Swis, dan Perancis. Dalam aturan memang jelas dikatakan, siapa saja orang Eropa boleh menajdi pegawai VOC. Pada tahun 1725 von Imhoff berangkat ke Batavia.
Di sinilah karis von Imhoff bermula. Di Batavia dia menikah dengan puteri mantan Gubernur Jenderal Huysman van der Hille. Karena perkawinan itu, dia menjadi lebih terpandang di kalangan bangsawan Belanda. Pada tahun 1730 dia diangkat sebagai inspektur pelabuhan. Pada tahun 1736 dia menajdi Gubernur Ceylon, yang juga dibawah kekuasaan VOC. Pada tahun 1738 von Imhoff dipindahkan lagi ke Batavia sebagai anggota Dewan Hindia.
Pada tahun 1740 dibawah Gubernur Jenderal Adrian Valckenier terjadi huru – hara yang dalam peristiwa sejarah dikenal sebagai “ pembantaian orang – orang Tionghoa di Batavia “ . akibatnya pemerintah Belanda mengganti Valckenier dengan von Imhoff. Sebagai Gubernur Jenderal, von Imhoff mendapat kuasa penuh untuk melakukan reformasi dalam tubuh VOC.
Pada tahun 1741, menurut Rudiger Siebert dari Radio Suara Jerman Deutsche Welle, von Imhoff membuat memorandum untuk VOC yang membahas masalah kondisi VOC, yakni bagaimana memperbaiki dan mempertahankan kekuasaan VOC. Ketika itu VOC telah menjadi badan yang bobrok karena ulah para pejabatnya.
Kondisi Batavia juga semakin kotor. Menurut von Imhoff, tidak masuk akal kalau Batavia dibangun seperti kota di Belanda dengan banyak kanal atau sungai. Hal itu dipandangnya hanya menjadi sarang nyamuk dan benih penyakit lain. Imhoff lalu mencari daerah pedalaman yang lebih sehat. Pada tahun 1745 dia memerintahkan pembangunan tempat kediaman yang dinamakan Buitenzorg atau ‘ tanpa kesusahan ‘. Lokasinya di bagian utara Kebun Raya Bogor sekarang.
Di Batavia selain menentang korupsi von Imhoff mendirikan sekolah kelautan atau Akademie de marine dan tempat pendidikan untuk masyarakat luas. Dia juga membuka sekolah Seminari. Namun untuk membersihkan VOC, dia sudah terlambat. Pada tahun 1750 von Imhoff meninggal. Hanya jejaknya masih tertinggal di Batavia, yaitu batu nisanya di Museum Wayang dan tempat kediamanya sebelum menjadi Gubernur Jenderal yang sekarang dikenal sebagai Toko Merah.

( Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya )

Asal Muasal Nama Betawi

Banyak yang berpendapat bahwa kata Betawiberasal dari transleterasi tulisan Batavia ke tulisan Arab, karena pada masa lalu kebanyakan orang Betawi memang dapat membaca dan menulis dalam huruf Arab Pegon ( Arab gundul / tanpa baris ).

Tetapi dalam naskah – naskah Betawi ditulis pada abad ke-18 dan 19, cara menuliskan Batavia sebagai kota dalam huruf Arab Pagon adalah Batafiya ( ba, ta, fa, ya ). Sedangkan cara menuliskan nama Betawi sebagai suku bangsa adalah Batawi ( ba, ta, waw, ya ).

Kata Betawi sebagai nama suku bangsa berdasarkan dokumen tertulis kesaksian Nyai Inqua ( seorang Nyai keturunan China ), telah digunakan jauh sebelum tahun 1644, yaitu sebelum kota jayakarta diganti namanya oleh Belanda menjadi Batavia.

Dalam bahasa Melayu Brunei, menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, Betawi adalah sejenis anting – anting. Satu arti dengan kata tersebut adalah nama Karawang dan Subang di Jawa Barat.

Menurut ahli linguistic berkebangsaan Jerman, Prof. Bern Nothofer, bahasa Melayu telah dipergunakan oleh penduduk yang kini disebut Betawi sejak abad ke-10. komunitas ini untuk kurun waktu yang lama disebut Melayu Jawa. Mereka mendiami daerah pesisir pantai utara Jakarta dan kawasan selat Kepulauan Seribu.

Nama – nama tempat di kawasan pesisisr meninggalkan jejak Melayu seperti Kampong Melayu, Teluk Naga ( di Tangerang ), Tanah Melayu, dan Sunter ( Sontar ) di Jakarta Utara.

Ditilik dari sudut adat istiadat, budaya dan keseniannya, orang Betawi sepenuhnya adalah orang Melayu. Tes DNA yang pernah dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor ( IPB ) menunjukan kesimpulan yang sama.

Tidak diketahui dengan pasti sejak kapan orang – orang Melayu sudah mendiami pulau Jawa, khususnya Tanah Betawi. Menurut Ridwan, sangat mungkin sejak Kerajaan Sriwijaya menguasai Jawa. Namnun, sejak runtuhnya Sriwijaya, penduduk yang mendiami Tanah Betawi berada dibawah kendali Kerajaan Sunda.

Wilayah yang didiami oleh orang – orang Melayu Betawi menurut peta yang dibuat oleh Pangeran Panembong pada abad ke-15 dinamakan Nusa Kalapa. Batas – batas wilayahnya adalah Sungai Ci Tarum di sebelah Timur dan Sungai Ci Sadane disebelah Barat.

Pelabuhanya bernama Kalapa. Nama Sunda Kalapa ( Cumda Calapa ) yang digunakan orang – orang portugis mengacu pada nama selat di sebelah Barat Kalapa yaitu Selat Sunda.

Tidak satu pun, kata Ridwan, naskah – naskah kuno Parahyangan menyebut nama Pelabuhan ini dengan nama Sunda Kalapa.


( Asep Setiawan, pemerhati budaya )

Rabu, 29 Juni 2011

Voetbal Bond di Batavia


Dalam konteks final Piala Dunia 2010, dimana Tim Orange melaju ke babak final, ada baiknya kita sedikit menengok tentang voetbal di Batavia. Di akhir tahun 1920, pertandingan voetbal atau sepak bola sering kali digelar untuk meramaikan pasar malam.jadi pertandingan dilaksanakan sore hari. Sebenarnya selain sepak bola, bangsa Eropa termasuk Belanda, memperkenalkan olahraga lain seperti kasti, bola tangan, renang, tennis, hoki, dll. Hanya saja semua jenis olahraga itu hanya terbatas untuk kalangan Eropa, Belanda, dan Indo. Ajdi sangat eksklusif. Alhasil sepak bola paling disukai karena tidak memerlukan tempat khusus dan pribumi boleh memainkanya.
Lapangan Singa ( Lapangan Banteng ) menjadi saksi dimana orang Belanda sering menggelar pertandingan panca lomba ( vyfkam ) dan tienkam ( dasa lomba ). Khusus untuk sepak bola, serdadu di tangsi – tangsi militer paling sering bertanding mereka kemudian membentuk Bond sepak bola atau perku
mpulan sepak bola. Dari bond – bond itulah kemudian terbentuk satu klub besar. Tak hanya serdadu militer tapi juga warga Belanda, Eropa, dan Indo membuat bond – bond serupa.
Dari bond – bond itu kemudian terbentuk Nederlansch Indische Voetbal Bond ( NIVB ) yang pada tahun 1927 berubah menjadi Nederlansch Indische Voetbal Unie ( NIVU ). Sampai tahun 1929 NIVU sering mengadakan pertandingan termasuk dalam rangka memeriahkan pasar malam dan tak ketinggalan sebagai ajang judi. Demikian Zeffry Alkatiri berkisah dalam Pasar Gambir, Komik Cina dan Es Shanghai.
Bond Cina menggunakan nama antara lain Tiong un Tong, Donar, dan UMS. Sedangkan bond pribumi biasanya mengambil nama wilayahnya seperti Cahaya Kwitang, Sinar Kernolong, atau Si Sawo Mateng.
Zeffry menyebutkan, pada tahun 1928 dibentuk Voetbalbond Indonesia Jacatra ( VIJ ) sebagai akibat dari diskriminasi yang dilakukan NIVB. Sebelumnya bahkan sudah dibentuk Persatuan Sepak Bola Djakarta ( persidja ) pada tahun 1925. pada 19 April 1930 Persidja ikut membentuk Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia ( PSSI ) di gedung Soceiteit Hande Projo, Yogjakarta. Pada saat itu Persidja menggunakan lapangan di jalan Biak, Roxy, Jakpus.
( Pradaningrum Mijarto )

Kamis, 23 Juni 2011

Mayor Jantje dan Tanjidor


Musik orkes yang kemudian dikenal dengan sebagai tanjidor berawal dari Citrap atau Citeureup sekitar dasawarsa kedua abad 19. musik ini disebut – sebut sebagai musik para budak dan tak lepas dari peranan seorang mayor keturunan mardykers ( orang merdeka ). Adalah Agustijn Michiels, keturunan Jonathan Michiels, seorang mardykers yang menjadi pemimpin kaum mardykers di timur laut Batavia, yang mewariskan musik tersebut.
Jonathan bergelar Oud Luitenant der Inlandsche Burgerij of der Papangers - letnan senior kaum papang. Ia memiliki tanah di Cileungsi dan Klapanunggal.
Warisan Jonathan jatuh ke tangan Agustijn, pada tahun 1807-setelah 20 tahun dinas di kemiliteran - berhenti dengan gelar Oud Majoore der Burgerij atau Kolonel Titulair. Meski demikian, Agustijn yang kaya raya tak pernah tinggal di Weltevreden sebagai mana warga Belanda dan Eropa lainya. Sebagai mardykers ia memilih tetap tinggal di Ancol, dimana kaum mardykers tinggal.
Di tahun 1817, Agustijn yang kemudian lebih dikenal sebagai Mayor Jantje, membeli tanah Citrap sekaligus daerah pedalaman sepanjang jalan raya antara Batavia dan Buitenzorg ( Bogor ). Dalam ulasanya pada buku Mayor Jantje: Cerita Tuan Tanah Batavia Abad ke-19 karangan Johan Fabricius, Mona Lohanda menjelaskan, sebagai tuan tanah, Mayor Jantje memiliki ratusan budak. Sebanyak 30 orang di antaranya tergabung dalam Korps Musik Papang ( Het Muziek Corps der Papangers ) yang dibentuk antara 1827 – 1829. para pemusik itu mengiringi pesta sang mayor setiap malam. Dari musik Eropa sampai musik Tionghoa dimainkan. Musik ini terus dimainkan hingga kematian menjemput Mayor Jantje pada 27 Januari 1833 di kediamanya di Semper Idem, Batavia.
Dengan kematian Mayor Jantje, keberadaan orkes tak jelas lagi. Para budak melelang alat musik Eropa seperti tamburin Turki, terompet Perancis, drum bas, dan clarinet. Mona menegaskan, nama tanjidor diperkirakan berasal dari bahasa Portugis, tanger ( bermain musik ) dan tangedor ( bermain musik diluar ruangan ), namun Betawi pun punya kata tanji ( musik ). Tanjidor hingga pertengahan tahun 1950-an masih menghibur warga pada saat merayakan tahun baru, termasuk ngamen di kawawsan Kota.
( Pradaningrum Mijarto )

Dimiskinkan di Batavia



Istilah dimiskinkan popular kembali sejak Gayus Tambunan diduga menjadi mafia Pajak. Hal ini juga diusulkan untuk koruptor – koruptor lain. Yang dimaksud dengan dimiskinkan adalah menyita seluruh harta si koruptor yang diduga kuat merupakan hasil korupsi.
Sebenarnya, istilah dimiskinkan sudah dikenal sejak zaman kerja paksa zaman VOC. Menurut pandangan VOC, rakyat harus dimiskinkan agar gampang diperbudak. Sistem kerja paksa dikenal luas pada zaman Deandels ( 1808 – 1811 ), kemudian diteruskan oleh pemerintah kolonial Belanda sampai tahun 1916. dalam sistem kerja paksa ini ada yang tidak dibayar, adapula yang dibayar sekedarnya.
Ketika itu kehidupan orang kota di Batavia sulit dan pahit, seperti halnya orang – orang desa. Akibatnya kebanyakan pribumi hanya menjual tenaga untuk mencari makan. Mereka tidak punya modal dan kesempatan untuk berdagang, karena Belanda lebih mempercayai oang – orang Cina untuk berkiprah dibidang perekonomian.
Karena dimiskinkan maka para bumi putera ditarik bekerja di sektor perkebunan atau pabrik gula. Walaupun dengan upah sangat rendah, mereka kuasa melawan. Sebaliknya Belanda justru diuntungkan karena mampu meraup keuntungan jutaan gulden per tahun. Bahkan orang – orang kaya bisa mempekerjakan kuli sebagai budak. Bi Batavisa sistem perbudakan dihapus pada tahun 1860.
Umumnya orang yang dimiskinkan itu memang berprofesi sebagai kuli atau babu. Penggunaan rotan dan kurungan dalam kandang di belakang rumah, sudah dianggap biasa terhadap mereka. Sesekali mereka dititipkan pada sipir penjara di balaikota, dengan bayaran empat stuiver per hari. Sipir yang nakal tidak segan menjual budak yang mereka tahan itu.
Kusus untuk pekerjaan babu, hal itu memang sangat dibutuhkan oleh orang – orang Belanda dan Cina. Para babu semula hanya bertugas mengurus rumah tangga juragan mereka. Tapi babu – babu yang berparas lumayan memiliki tugas sampingan, yakni melayani kebutuhan seks para juragan itu. Babu – babu yang demikian dikenal dengan panggilan nyai. Tidak jarang, babu – babu ini kemudian menjadi istri resmi si tuan.
Dulu orang yang dimiskinkan begitu menyedihkan. Salah sedikit saja bisa kena hukum cambuk. Tangan diikat di tiang, lalu celana agak dipelorotkan , dan cambuk pun dilecutkan beberapa kali ke pantat.

( Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya )

Sabtu, 18 Juni 2011

Sundung dan Tabunan


Masalah kebersihan lingkungan di Jakarta ternyata bukan hal yang baru. Pada zaman Belanda masyarakat dianjurkan untuk menjaga kebersihan pekarangan rumah, tidak membuang sampah sembarangan, dan tidak mengotori sungai.

Tujuanya agar sungai dapat dimanfaatkan sebesar – besarnya bagi penduduk. Sodetan Sungai Ciliwung dibangun secara permanen. Tepian kali dicor dengan semen. Walau kemiringanya mencapai 45 derajat, permukaanya dibuat rata agar oang tidak mudah membuang hajat besar sembarangan.

Di sepanjang tepian Ciliwung pada jarak tertentu dibangun trap, tangga untuk memudahkan ibu – ibu dan anak – anak turun ke kali untuk mandi dan mencuci. WC umum Cuma dibangun dibagian hilir Ciliwung dari Mangga Besar ke utara. Jika WC umum dibangun di hulu, dikhawatirkan kawanan buaya kuning( tinja ) menggangu anak – anak yang sedang berenang.

Kehidupan kota Betawi tempoe doloe dimulai dengan kesibukan ibu – ibu dan anaknya pergi ke kali Ciliwung untuk mandi dan mencuci. Hal yang sama dilakukan oleh tukang penatu untuk merebut tempat strategis di tepi sungai sambil memikul pakaian kotor konsumen yang dimuat di sundung. Sundung adalah alat pemikul yang terbuat dari bambo. Kedua ujungnya, tempat pakaian diletakan berbentuk huruf “V”.

Tukang penatu zaman dulu tubuhnya tegap. Maklum, busana yang harus dicuci umumnya terbuat dari drill khaki yang tebal. Konsumenya kebanyakan tetangga mereka sendiri. Sehingga tidak diperlukan tanda terima. Karena mereka hafal busana tetangganya masing – masing .

Tetapi, tidak jarang terjadi ke khilafan. Ada saja celana konsumen yang hilang atau terbawa orang lain. Kalau sudah terjadi kasus seperti ini, tukang penatu menjadi sasaran omelan. Ada yang mengomel dengan kemarahan dan ada pula yang melampiaskanya kemarahanya dengan berpantun. Begini bunyinya “ Pisang batu makanan kampret, pisang raja dimakan kutilang. Tukang binatu ma’di sompret, celana satu dikeje ilang”.

Sementara itu untuk menjaga kebersihan lingkungan rumah dari sampah, pemerintah kota menganjurkan untuk membakarnya. Sampah haruas dikumpulkan pada tempatnya ( biasanya lubang ditanah berukuran 1m x 1m ) dan setelah itu dibakar.

Bakaran sampah dinamakan tabunan. Menabun biasanya dilakukan pada sore hari agar asapnya tidak mengenai pakaian yang sedang dijemur. Dengan demikian pekarangan rumah zaman dulu selalu bersih dan sampah tidak menjadi sumber penyakit karena musnah terbakar.

( Asep Setiawan, pemerhati budaya )

Riwayat Tanahabang

Sejarah Tanahabang dimulai pada abad ke – 17 ketika terjadi perluasan kota Batavia kea rah selatan. Pada mulannya wilayah perluasan kota Batavia itu merupakan tanah milik pribadi orang – orang kaya Belanda. Pada tahun 1733 Tanahabang menjadi milik Justinus Vinck. Sebelumnya, Vinck juga memiliki tanah disebelah timur Weltevreden ( Lapangan Banteng sekarang ). Karena naluri bisnisnya, maka Vinck mendirikan pasar Weltevreden dan pasar Tanahabang di atasnya.

Surat izin untuk kedua pasar keluar pada 30 Agustus 1735. dalam surat izin dicantumkan juga bahwa hari pasar Weltevreden adalah hari senin, sementara untuk pasar Tanahabang hari sabtu. Namun sejak tahun 1751 untuk pasar Tanahabang ditambah hari rabu.

Ketika itu bangunan pasar masih amat sederhana, berbahan bamboo dan rumbia. Pemilik kios umumnya orang China. Barang yang boleh dijual di pasar ditentukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pasar Tanahabang kebagian tekstil, kelontong, dan sedikit sayuran.

Nama Tanahabang sendiri diperkirakan sudah dikenal pada kuartal pertama abad ke – 17. kemungkinan berhubungan dengan tentara mataram yang datang menyerbu VOC di Batavia pada tahun 1628. dulu, wilayah wilayah ini masih merupakan tanah bukit dengan rawa – rawa di sekelilingnya,. Tanahnya amsih berwarna merah karna itu tentara mataram mengguakan sebagai basis pertahanan. Dalam bahasa Jawa, merah disebut abang

Baru lima tahun berdiri, pasar Tanahabang kena imbas peristiwa pembantaian etnis China pada tahun 1740. ketika itu banyak kios dirusak, di porakporandakan, dan dibakar. Akibatnya orang – orang China menyingkir ke daerah pinggiran. Dengan demikian wilayah Tanahabang menjadi sepi.

Pemerintah Belanda yang merasakan dampak itu, mulai melakukan pendekatan kepada orang – orang China untuk bergerak kembali memutar roda perekonomian. Bersamaan dengan perkembangan daerah Tanahabang berkat adannya pasar, daerah itu pun terkenal sebagai tanah kuburan.

Pekuburan Tanahabang dibuka pada tahun 1795. banyak pemuka amsyarakan dimakamkan disitu. Begitu tersohornya pekuburan Tanahabang, sampai – sampai orang Belanda sering berseloroh “terug naar Tanahabang” masksudnya “masuk liang kubur”.

Pada masa kemudian Tanahabang dikenal sebagai pasar kambing. Apalagi sedikit demi sedikit orang – orang Arab yang dikenal doyan makan kambing, bermukim di Tanahabang.

( Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya )

Libur Tahun Baru di Batavia

Daerah puncakpass biasanya menjadi pilihan orang Belanda untuk menghindari ramainya Batavia selama hari libur Natal. Sejak tahun 1920-an, hotel dan rumah – rumah mulai dibangun disana, dan dapat di sewa. Tidak sedikit orang Batavia yang membangun rumah – rumah peristirahatan di daerah puncak, yang letaknya tidak jauh dari Buitenzorg dan Kebun Raya yang menarik.

Biasanya beberapa hari mendinginkan badan di puncak sudah cukup untuk mengembalikan semangat orang – orang Belanda itu. Menjelang akhir tahun, berbondong – bondong pula orang kembali ke Batavia. Pagi – pagi tanggal 31 Desember, ibu – ibu Belanda sudah sibuk mempersiapkan pesta menyambut datangnya tahun baru.

Bau spekkoek atau kue lapis legit yang digemari orang Belanda semerbak mewangi. Di dapur, sang nyonya dan para bediende sibuk membuat slada huzar, dan sebuah pinggan cantik yang besar menunggu dupenuhi slada itu.

Sementara itu, seorang ditugaskan membeli sebuah balok es di warung. Balok es itu tertutup serbuk gergaji supaya tidak cepat mencair dan diikat dengan tali yang terbuat dari serat pisang. Sesampai di rumah, balok es itu disiram air supaya bersih dari sebuk gergaji, lalu dipotong – potong menjadi balok – balok kecil yang kemudian disimpan didalam peti es. Peti es itu merupakan peti kayu berlapis seng di bagian dalamnya. Peti itu di isi dengan botol – botol minuman, terutama bir.

Menjelang malam, muncul beberapa laki – laki membawa bambu – bambu panjang untuk menghidupkan lampu – lampu jalan. Dengan bambu itu, mereka menarik sumbu lampu – lampu jalan itu ke bawah, menyundut kaus lampu dengan api sampai lampu – lampu di jalan bersinar terang, lalu mendorongnya kembali ke atas tiang lampu. Di semua rumah, keluarga sibuk bersiap, berdandan dan mengenakan pakaian pesta.

Lalu, berdatanganlah teman dan sanak – saudara untuk makan dan minum bersama. Tawa berkumandang ke segala arah dan anak – anak kecil tertidur di kursi dan dipangkuan pengasuh mereka. Beberapa menit sebelum jam berdentang dua belas, semua yang tertidur dibangunkan. Semua orang berkumpul di ruang tamu dan bersama – sama mulai menghitung menghilangnya detik – detik tahun yang akan berlalu.

“Vyf!.. Vier!.. Drie!.. Twee!.. Een!.. Prettig Nieuwjaar!!.... Lima!.. Empat!.. Tiga!.. Dua!.. Satu!.. Selamat Tahun Baru!...”

Langit gelap di atas Batavia mendadak semarak oleh kembang api dan sorak gembira

( Frieda Amran, lulusan Antropologi UI, Tinggal di Belanda )

Koleksi Pertama Museum Nasional

Pada 24 April sekelompok cendekiawan dan kolektor bangsa Belanda di Indonesia mendirikan sebuah lembaga ilmu pengetahuan. Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Badan swasta ini bertujuan memajukan penelitian dalam bidang kebudayaan dan keilmuan. Tanggal itu lalu ditetapkan sebagai hari kelahiran Museum Nasional.

Berbagai koleksi benda masa lampau di sumbangkan ke lembaga ini. Dalam beberapa tahun saja terkumpul benda – benda prasejarah, benda – benda arkeologi, keramik asing, dan koleksi – koleksi lain. Koleksi prasejarah yang pertama dimiliki Museum Nasional adalah sebuah kapak batu berukuran 43 cm x 3 cm. kapak ini berasal dari daerah Ciparay, Bandung mungkin merupakan hadiah dari seorang kepala desa.

Koleksi arkeologi yang pertama dimiliki Museum Nasional berupa arca Syiwa Trisirah. Syiwa merupakan salah satu dewa terpenting dari Trimurti. Arca Sywa Trisirah terbuat dari batu. Tempat penemuanya tidak diketahui pasti, hanya dikatakan di Pekalongan ( Jawa Tengah ). Kemungkinan merupakan bagian dari sebuah candi, karena di Jawa Tengah bertebaran candi, baik yang utuh maupun reruntuhan.

Piring adalah merupakan koleksi pertama yang dimiliki Seksi Koleksi Keramik Museum Nasional. Sayang, asal – usul piring berdiameter 38cm ini belum diketahui. Namun berdasarkan penelitian keramolohgi diperkirakan piring tersebut berasal dari abad ke – 12 hingga ke – 14. pemilik pertama piring tersebut adalah Orsoy de Flinnes, seorang kolektor keramik. Sebagian besar koleksi keramik di Museum Nasional merupakan sumbangan pribadi Orsoy de Flinnes.

Anyaman daun nipan dalam bentuk tutup kepala merupakan koleksi pertama dari Seksi Etnografi. Koleksi ini berasal dari Mentawai, Sumatera Barat, berukuran panjang 120 cm dan lebar 58 cm. koleksi ini dicatat pertama kali oleh GW de Rruyn.

Koleksi Seksi Relik Sejarah yang pertama kali adalah tempayan tanah liat. Pada bagian badanya terdapat ragam hias tumbuh – tumbuhan. Tempayan ini digunakan sebagai wadah air. Sedangkan koleksi Seksi Geografi yang pertama adalah peta Keraton Majapahit, hasil rekonstruksi dari kitab Nagarakretagama. Peta ini berukuran panjang 60,5 cm dan lebar 54,5 cm dengan skala 1:10.000.

Kalau pada awalnya, yakni tahun 1778, Museum Nasional hanya memiliki sedikit koleksi, kini jumlah koleksinya mencapai 150.000.

( Djulianto susantio, pemerhati sejarah dan budaya)

Kapal Belanad Pertama di Jayakarta


Kapal Belanda pertama yang berlabuh di Jayakarta adalah Hollandia pimpinan Cornelis de Houtman pada November tahun 1596. dalam dokumen berbahasa latin karya Th de Bry (1601) yang kemudian diterjemahkan oleh Adolf Heuken, Jayakarta disebut lacatra ( sumber – sumber asli sejarah jilid II, 2000 ). Pamanukan dan Karawang juga disebut – sebut.

Dikatakan, Jayakarta merupakan daerah yang sangat subur untuk segala macam tanaman. Daerah ini dilalui sungai yang baik. Air sungai ini sangat cocok untuk menyegarkan para pelaut. Kita dapat menduga, ketika itu air sungai Ciliwung sangat bersih.
Kapal Belanda itu bertujuan mencari rempah – rempah. Dari Ciliwung kapal menuju sungai Tanara, yang terletak delapan mil kea rah timur dari Banten. Pada hari berikutnnya seorang Ethiopia, dari bangsa Gujarat bernama Abdul, naik ke kapal di Banten. Dia bertugas sebagai pemandu dan penerjemah karena fasih berbahasa Jawa, Melayu, dan Portugis. Dia ikut sampai ke Eropa dan menjadi penerjemah pada pelayaran yang ke dua.

Bagian lain laporan tersebut mengatakan, dekat dengan pantai terdapat pulau kecil. Di antara semua pulau, kapal dapat berlayar dengan agak aman. Bahkan banyak dari pulau dihiasi kebun dan taman yang bagus, juga menghasilkan buah – buah Jawa. Di antara pulau – pulau. Banyak banyak terdapat ikans sehingga banyak nelayan Banten pergi kesitu untuk menangkap ikan.

Satu mil ke hulu kelihatan desa besar, yang rupanya termasuk wilayah kuasa raja dari Jayakarta. Pada hari berikutnya beberapa orang Tionghoa datang dengan perahu dan naik ke kapal. Mereka membawa beberapa tempat minuman keras. Rupanya mereka mau ke Jayakarta untuk memperoleh barang – barang kebutuhan lain sebagai barang dagangan.
Banyak buah – buahan dibawa oleh awak kapal. Mereka berdagang dengan damai dan tenang. Raja sempat mendatangi kapal Hollandia. Dia dikawal oleh banyak orang terkemuka dan bangsawan. Setelah meninjau kapal, makanan kecil dipersembahkan kepadanya. Raja berterima aksih karena diterima dengan baik dan memperoleh cenderamata.
( Djulianto susantio, pemerhati sejarah danbudaya )

Jakarta Bagian Kerajaan Sunda

Ketika banyak etnis ramai – ramai datang ke Jakarta. Sebagaimana tergambar dari nama – nama kampong. Seperti Kampungbali, Kampungmelayu, Kampungjawa, Kampungambon, dan Kampungbandan, ternyata Kampungsunda tidak pernah ditemukan.

Bisa jadi karena dulunya Jakarta merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Apalagi, kalau kita amati nama – nama Jakarta adalah Sunda Kalapa ( bahasa sunda untuk kelapa ). Hal ini didukung oleh berbagai nama wilayah, seperti Gandaria, Menteng, Kemang, dan Gambir. Nama – nama yang cukup dikenal di tanah sunda.

Ayatrohaedi, pakar arkeologi islam dari universitas Indonesia, menduga dulunya Jakarta adalah bagian dari Kerajaan Sangiang. Berdasarkan naskah Carita Parahyangan. Raja Sunda Jayadewata ( identik dengan Sri Baduka Maharaja ) mempunyai anak bernama Surawisesa, yang merupakan Raja Sangiang. Itu karena dari berita Portugis itu, raja yang mereka kenal sebelumnya di Malaka sudah tidak berkuasa lagi di Sangiang. Dia telah menjadi Raja Cumda ( = Sunda ) dan bertakhta di Dayo (= Dayeuh, ibu kota ), kira – kira dua hari perjalanan dari Bandar kerajaan Sangiang yang bernama Kalapa.

Dua hari perjalanan ke arah selatan dari Bandar Kalapa atau sekitar 60 kilometer menurut dugaan sekarang, akan membawa kita sampai ke kota Bogor yang ketika itu masih bernama Pakuan Pajajaran, begitu tafsiran Ayatrohaedi. Pada tahun 1527 pasukan Portugis tidak dapat mendarat di Kalapa, karena sudah dikuasai pasukan islam yang dipimpin oleh panglima Fatahillah.

Dari paparan di atas, tentunya kedudukan raja Sangiang sangat penting. Apalagi berita Portugis tidak pernah menyebut Raja Kalapa atau Raja Sunda Kalapa. Kalau dulunya yang disebut kota Jakarta berlokasi di sekitar bandar Kalapa ( wilayah Jakarta utara sekarang ), pastilah daerah – daerah lain ( Jakarta Timur misalnya ) termasuk kekuasaan kerajaan Sunda atau Sangiang. Seberapa jauh hubungan antara Bandar Kalapa dan Kerajaan Sangiang, rupanya kurang mendapat perhatian para peneliti.

( Djulianto Susantio, pemerhati budaya )

Hukuman Sadis Penjahat Abad 17



Minggu lalu, diceritakan Perihal seorang budak Bali yang mengamuk dan membunuh isteri majikanya. Perilaku mengamuk tidak hanya sekali saja terjadidi Batavia pada abad ke – 17. saking seringnya dan banyaknya orang yang mengamuk , orang belanda mengambil alih istilah “amuk” itu. Orang yang mengamuk disebut sebagai “amokmakers” (BI: pelaku amuk ) an orang inggris juga mengambil alih istilah itu sehingga dalam bahasa mereka dikenal perilaku ‘to run amok’ ( BI: perilaku yang tak terkendali ).

Nicolaus de Graaf mencatat cerita mengenai orang lain yang juga mengamuk dan membunuh anak perempuan orang kaya di kota. Entah apa yang membuatnya tega menghabisi nyawa anak itu : kedua gelang emas yang melingkari pergelangan tanganya yang mungil atau kepongahanayahnya yang kaya raya?.. lelaki berdarah dingin ini segera ditangkap dan di ikat pada sebuah kereta, lalu dibawa dari ‘t Stadhuis ( Balai Kota ) berkeliling kota. Di
segala sudut kota sebentar – sebentar tangan dan kakinya dijepit dengan tang besi yang panas membara. Akhirnya dengan lengan dan kaki yang tercabik- cabik oleh tang panas itu, ia dibelengu di tiang beberapa jam sampai menemui ajalnya setelah terlebih dahulu menikmati sebatang rokok dan segelas air putih.

Memang tidak dapat dipungkiri di Batavia, tangan Justitia betul – betul menghukum keras setiap tindak pidana. Namun, barangkali hal itu dapat dipahami mengingat banyaknya orang yang Bengal yang berkeliaran di Batavia. Hanya ancaman – ancaman hukuman berat seperti ini yang membuat kecut hati para matros dan biang kerok yang sebentar – sebentar berkelahi dan membuat onar. Semua orang itu rupanya paham betul bahwa bila seseorang menghunus pisau atau belati dan melukai orang lain, oang itu akan segera ditangkap, diikatkan pada sebuah tiang dan di lecuti dengan cemeti rotan. Bila korbanya sampai meninggal, pada hari itu juga bila tertangkap, si pelaku akan diikat dan digantung di tiang gantung.

Ini kulihat sendiri, kata Nicolaus de Graaf: gedaan naar alle gewesten des werelds ( beginnende 1639 tot 1687 incluis ) yang terbit tahun 1930. hukuman berat itu sangat diperlukan karena di Batavia, jangankan pada malam hari, siang hari pun sering kali seseorang dilecehkan, dirampok, atau di siksa. Seolah tanpa perasaan, Nicolaus de Graaf menceritakan hukuman keji itu. Aneh untuk zaman sekarang, namun tidak perlu heran dengan sikapnya mengamati hukuman yang menimpa penjahat di Batavia juga dijalankan di daratan Eropa pada abad pertengahan. ( frieda.amran@yahoo.com, anggota asosiasi antropologi Indonesia )

Barang Hilang Pasti Ditemukan

Pasti tidak sedikit orang yang pernah mengalami ketinggalan barang di angkutan kota, taksi, ataupun di warung tempat biasa ngupi – ngupi. Sering kali, jika tersadar telah meninggalkan barang secara tak sengaja di suatu tempat, kita hanya bisa “ pasrah “ karena umumnya barang itu tidak akan kembali.

Jangankan barang – barang kecil seperti dompet atau tas, barang – barang besar seperti motor bahkan mobil, pun belum tentu kembali walaupun si pemilik telah melaporkanya kepada yang berwajib dan telah bertahun – tahun menunggu ( semoga yang terakhir tidak terjadi pada anda, tapi saya pernah mengalaminya, hik… hik… ) namun, hal ini tidak berlaku di Batavia ( Betawi ) atau sekarang dikenal dengan nama Jakarta.

Dimuat dalam Koran Sin Po edisi Bulan Oktober 1928. dua Bulan lalu, ada seorang belanda di Matraman telah kehilangan kotak rokoknya di tengah jalan. Bukan sembarang kotak rokok lho… tapi itu adalah kotak rokok yang terbuat dari emas sehingga merupakan barang berharga ( nilainya sekitar f.450 ). Sesaat setelah kehilangan, dia segera melaporkanya ke polisi dan memberitahu kepada seantero pegadaian agar “ menjaga “ tempat rokoknya yang mahal itu.

Tidak lama berselang, ada seorang sopir taksi Oesin namanya, hendak menggadaikan kotak rokok emas yang sama dengan kotak rokok kepunyaan si Belanda Matraman. Maka polisi segera menahanya, dan dari penyelidikan diketahui bahwa kotak rokok emas itu memang kepunyaan si Belanda Matraman yang tertinggal di dalam taksi miliknya.

Akhirnya, oleh Landraad, Oesin dijatuhi hukuman 8 bulan penjara karena dianggap bersalah telah memungut barang milik orang lain namun tidak segera mengembalikan kepada pemiliknya atau menyerahkan barang itu kepada polisi.

Selain Oesin, Landraad itu juga menjatuhi hukuman 6 bulan penjara kepada seorang penduduk Cipete yang telah menemukan dompet berisi uang disebuah warung kopi. Dompet itu yang sebelumnya diakui miliknya, ternyata milik seorang haji ( Sin Po, 3 Oktober 1928 )

Hmm… seandainya saja kejadian yang saja alami terjadi pada tahun 1928, pasti dalam hitungan Bulan mobil saya yang hilang itu sudah kembali, saying di tahun itu, jangankan punya mobil, lahirpun belum! Jadi sampai saat ini ( setelah lebih dari 5 tahun ) agaknya saya masih harus terus menunggu dan hanya bisa berharap.

( Lily Utami )

Minggu, 22 Mei 2011

Kemegahan Eropa di Selatan Katulistiwa

Tanpa lelah, Dr Strehler menuliskan kesan-kesanya mengunjungi Batavia dalam buku harianya, Bijzonderheden wegens Batavia en deszelfs omstreken: uit het dagboek gedurende twee reizen derwaarts in 1828-1830 ( Haarlem: de Wed. A. Lossjes PZ. 1833).
Bila orang datang dari arah pelabuhan Sunda Kelapa, daerah Batavia yang pertama di depan mata adalah Molenvliet. Daerah ini ditanami pohon-pohon yang rindang. Di sebelah kiri terdapat kanal dan di sebelah kana berjejer rumah-rumah yang bagus berhalaman luas. Di bagian depan rumah-rumah itu ada beranda dengan perabotan yang mengundang pemiliknya duduk-duduk santai setelah matahari terbenam , yang lelaki dengan cerutu tergantung di bibir dan yang wanita dengan secangkir the hangat ditangan.
Kanal di Molenvliet itu diramaikan oleh biduk-biduk petani, orang cina dan penjual rumput, mentega, susu dan buah-buahan. Pagi hari kanal itu dipenuhi oleh artisan lelaki, perempuan, anak-anak, kerbau, kuda, sapi, babi dan kambing. Ratusan manusia dan binatang bersama-sama mandi mencuci pakaian dan berendam nikmat. Jalan disamping kanal itu ramai oleh bendi dan kereta yang ditarik dua atau empat ekor kuda membawa tuannya ke kantor, gudang dan pertokoan. Adapula pedati yang ditarik oleh dua kernau tua. Sekitar setengah hari, panas menyengat memaksa orang masuk rumah, hannya tinggal beberapa pedagang cina yang berkeliling dengan payung di satu tangan dan semacam alat bunyi-bunyian untuk memanggil pembeli. Budak pedagang itu berjalan terseok di belakang sambil membawa barang dagangan dalam keranjang-keranjang yang digantung di galah bambu di bahunya. Beberapa kuli datang dari arah lain membawa gembor untuk menyiram jalanan yang berdebu.
Di ujung jalan Molenvliet, disebelah kanan terdapat gedung Societeit der Hamonie (Gedung Kesenian). jalan raya it terus sampai ke Koningsplein. Di sebelah kiri, ada jalan kecil menuju Weltevreden. Jalan ini menyusuri kanal lebar dengan Rijswijk di sebelah kananya dan Noordwijk di sebelah kiri. Rijswijk adalah daerah yang mengesankan dengan istana Gubernur –Jenderal yang megah dan gedung-gedung besar lainnya. Rumah-rumah newah para pedagang dan pegawai pemerintah lebih banyak dibangun di Noordwijk. Weltevreden agak berbeda dengan Rijswijk maupun Noordwijk karna daerah itu di tata seperti kota Eropa dengan rumah-rumah yang dibangun berjajar rapi.
( Frieda Amran, antropolog, tinggal di Belanda)

Rabu, 18 Mei 2011

Ciliwung Riwayatmu Dulu


banjir lagi, banjir lagi. Di Jakarta ditangan ahlinnya saja masih kewalahan menghadapi fenomena yang satu ini. Jangankan menghilangkan, meminimaliskan banjir saja bukanmain sulitnnya.
Prilaku masyarakat dituding menjadi penyebab terjadinnya banjir atau genangan. Membuang sampah sembarangan sehingga drainase menjadi tersumbat memang merupakan pemandangan sehari-hari, terutama di wilayah-wilayah sepanjang bantaran Sungai Ciliwung.
Curah hujan yang tinggi, penumpukan sampah, pendangkalan sungai, drainase buruk, dan minimnnya tanah resapan, merupakan penyebab banjir di Jakarta yang sudah lama teridentifikasi. Pesatnnya urbanisasi ke Jakarta menjadi salah satu faktor kondisi ini.
Tidak diperkirakan sebelumnnya, dalam kurun waktu seratus tahun saja sungguh-sungguh di Jakarta telah mengalami penurunan kualitas sangat besar. Pada abad 19, air sungai-sungai di Jakarta masih bening sehingga bisa digunakan untuk minum, mandi, dan mencuci pakaian.
Bahkan ratusan tahun yang lalu, Sungai Ciliwung banyak dipuji-puji pendatang asing. Disebutkan, pada abad 15-16 Ciliwung merupakan sebuah sungai indah, berair jernih dan bersih, mengalir ditengah kota. Hal ini sangat dirasakan para pedagang yang berlabuh di Pelabuhan Sundakelapa.
Ketika itu Ciliwung mampu menampung 10 kapal dagang dengan kapasitas sampai 100 ton, masuk dan berlabuh dengan aman di Sundakelapa. Kini jangankan kapal besar , kapal kecil saja sulit melayari Ciliwung karena baling-baling kapal hampier selalu tersangkut sampah.
Sumber lain mengatakan, selama ratusan tahun air Ciliwung mengalir bebas, tidak berlumpur, dan tenang. Karena itu banyak kapten kapal asing singgah untuk mengambil air segar yang cukup baik untuk di isiikan ke botol dan guci mereka.
( Djulianto susantio)

Ngupi ame Ruti


pada satu zaman dulu ngupi ame ruti ( minum kopi dengan roti ) termasuk kegiatan yang top. Tidak semua ibu rumah tangga mampu menyediakan hidangan itu bagi suaminnya, karena roti masih langka dan harganya mahal. “Ruti, apelagi dipake mentege, itu sih makanan Belande,”kata orang zaman dulu.

Seiring dengan berjalanya waktu, seni boga Betawi juga makin berkembang. Kaum ibu membuat bermacam-macam panganan utnuk hidangan resmi seperti kue onde pite, talam udang, pastel nastar, bubur sumsum, srikaya, dan kue pepe. Sedangkan untuk “iseng-iseng”dibuat empleng-empleng.

Orang Betawi pinggir memproduksi makanan dengan nama yang jenaka, misalnnya ongol-ongol, sengkulun, rengginang, dangeplak. Cuma satu yang namannya cantik, yaitu kue putu mayang. Ini satu-satunnya kue yang dipotong mesti menggunakan sembilu (bagian kulit bamboo yang dipotong tipis dan tajam).

Kue-kue asal Betawi itu kini jarang, bahkan sulit, dijumpai. Orang-orang Jakarta sudah terbiasa ngupi ame ruti. Kebiasaan ini meluas sejak pertengahan tahun 1960-an. Sampai-sampai, tukang kopi dipinggir jalan pun menyediakan roti bakar, sehingga kue pancong kalah pamor.

Entah bagaimana nasib cetakan kue pancong berikut ganconnya. Dan, kini roti bukan sekedar pengganti kue. Bahkan sudah “naik pangkat” menggantikan nasi sebagai sarapan pagi.

Derasnnya modernisasi telah menggusur tukang kopi pinggir jalan, dan fungsi mereka digantikan oleh café & bakery, serta coffe shop yang kini juga merambah sampai ke mal-mal.

( Asep Setiawan, pemerhati budaya)