"KOMUNITAS PECINTA SEJARAH KOTA TUA"

Minggu, 08 Mei 2011

Pijat dan Musik di Batavia



Kebanyakan buku harian berisi catatan sehari-hari. Buku harian Dr. Strehler (Bijzonderheden wegens Batavia en deszelfs omstreken: uit het dagboek gedurende twee reizen derwaarts in 1828-1830 van Dr. Strehler. Haarlem: de Wed. A. Lossjes pz. 1833) tidak hanya berisi ungkapan hati penulisnnya, tetapi penuh uraian rinci mengenai segala yang dilihat dan dialaminya selama di Batavia. Di Batavia semua orang tidur di antara pukul 13:00-16:00. Bila tidak beristri, seorang lelaki yang merasa penat namun tak juga dapat tertidur, memanggil satu atau dua pembantu wanita untuk memijitnnya. Wanita-wanita itu mulai memijat perlahan-lahan. Di Hindia-Belanda, pijat-memijat merupakan keahlian tersendiri. Pertama-tama, dilakukan apa yang disebut pidjit : lengan, kaki, punggung, leher, dan kepala Toean Besar diberi tekanan-tekanan halus. Pidjit diikuti oleh sapoe-sapoe, yaitu gosokan-gosokan halus dengan telapak tangan. Setelah tubuh Toean Besar rileks, para pembantu itu melanjutkan dengan: gosok-gosok, yaitu menyeka tubuh dengan handuk hangat. Ini diikuti oleh tombok, yaitu tekanan halus dengan kepalan tangan. Tjowit, cubitan-cubitan kecil di kulit dan ramas, yaitu menarik jari-jari kaki dan tangan hingga berderak menutup seluruh rentetan pijat-memijat siang hari itu. Ketika akhirnya, kedua pembantu wanita itu menutup pintu kamar, hanya terdengar dengkur sang Toean sebagai ucapan terima aksih. Sore hari, orang bersiap pergi. Pada tahun 1828 setiap hari Kamis dan Sabtu diadakan latihan Korps Musik Militer di depan istana Wltevreden. Setelah matahari terbenam, dari segala arah berdatangan kereta-kereta kuda. Setiap kereta dipenuhi wanita-wanita cantik. Kereta-kereta itu berhenti berdampingan membentuk setengah lingkaran mengitari barisan Korps Musik Militer. Para penumpang tetap duduk di kereta masing-masing. Kuda-kuda yang ditunggangi oleh prajurit-prajurit tampan sesekali mendekati kereta-kereta yang berisi wanita-wanita cantik. Acara seperti ini merupakan kesempatan yang di tunggu-tunggu oleh nona-nona berbangsa Eropa dan Indo-Eropa untuk memamerkan kecantikan dirinnya dan keindahan pakaian serta perhiasan mereka kepada dunia. Dan dunia, (diwakili para lelaki Batavia) tidak menyia-nyiakan kesempatan menikmati indahnnya mahluk ciptaan Tuhan. Musik yang diperdengarkan tak kalah dengan musik di Eropa. Masyarakat (Eropa dan Indo) di Batavia merangkul pemusik dan seniman dari Eropa. Di negeri sendiri, tidak banyak pemusik yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnnya dengan keahliannya. Di Batavia, pendidikan musik mahal hargannya dan orang-orang bersedia mengeluarkan uang beberapa gulden untuk dapat belajar bermain musik. Suasana di udara terbuka itu terasa menyenangkan.
(Frieda Amran, alumni Fakultas Antropologi UI, tinggal di Belanda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar