Dengan bergairahnya ekonomi maka penjualan barang-barang kebutuhan pokokpun meningkat. Barang-barang kebutuhan sekunder mulai ramai diperdagangkan. Dari advertensi yang dimuat di surat kabar terbitan Medan, Jakarta, Semarang, dan Surabaya tercermin bagaimana upaya produsen memikat hati konsumen. Barang-barang impor mulai membanjiri pasar Hindia-Belanda.
Majalah De Huisvrouw in Indie, yang terbit di Medan, setiap bulan membuat daftar harga barang kebutuhan rumah tangga seperti sabun, mentega, makanan kaleng, sirup, pastagigi, dan teh. Dari sisi harga, tampaknya terjadi inflasi yang tingkatnya bervariasi pada barang eks luar negeri seperti tampak dari beda harga enam bulan. Meski ternyata ada juga harga barang yang harganya turun. Beberapa merek masa itu masih kita dapati produknya sekarang.
Pada desember 1933, harga sabun Sunlight sebesar f 0,28 (juni 1934 tetap f 0,28), Rinso f 0,19 (f 0,20) sabun mandi Lux f 0,25 (0,30), mentega Wijsman 2,5 kg f 3,25 (f 3), Delicia 5 lbs f 1,50 (f 1,65), margarine Blue Band 5 lbs f 1 (f 1,50), ikan kaleng sarden Peneau f 0,45 (f 45), kornet Delima f 0,25 (f 0,25), kornet Bovril f 0,25 (f 0,30), sirup Lauw Tjin f 0,30 (f 0,30), fruit salad Del Monte f 0,75 (f 0,65).
Alwi Sahab dalam Djakarta Tempo Doeloe (2-12-2001) menulis, di masa itu seliter beras berharga 2 sen atau satu gobang (2,5 sen), sehingga 1 gulden (100 sen) bisa mendapat 40 liter beras. Sedang dalam cerita Kwee Tek Hoay ditulis, sebuah keluarga sederhana tanpa anak bisa hidup dengan f 80 perbulan dan sewa rumah kecil di gang sebesar f 15 sebulan.
Iklan displai terbanyak adalah susu, mulai dari Viking produksi Nestle Milk CO, lalu Friesche Vlag, Milk Maid, Glaxo, Bear Brand, Ovomaltine Alpine, Lactogen, lalu disusul iklan makanan ringan.
(Hendry ch Bangun)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar