"KOMUNITAS PECINTA SEJARAH KOTA TUA"

Sabtu, 18 Juni 2011

Sundung dan Tabunan


Masalah kebersihan lingkungan di Jakarta ternyata bukan hal yang baru. Pada zaman Belanda masyarakat dianjurkan untuk menjaga kebersihan pekarangan rumah, tidak membuang sampah sembarangan, dan tidak mengotori sungai.

Tujuanya agar sungai dapat dimanfaatkan sebesar – besarnya bagi penduduk. Sodetan Sungai Ciliwung dibangun secara permanen. Tepian kali dicor dengan semen. Walau kemiringanya mencapai 45 derajat, permukaanya dibuat rata agar oang tidak mudah membuang hajat besar sembarangan.

Di sepanjang tepian Ciliwung pada jarak tertentu dibangun trap, tangga untuk memudahkan ibu – ibu dan anak – anak turun ke kali untuk mandi dan mencuci. WC umum Cuma dibangun dibagian hilir Ciliwung dari Mangga Besar ke utara. Jika WC umum dibangun di hulu, dikhawatirkan kawanan buaya kuning( tinja ) menggangu anak – anak yang sedang berenang.

Kehidupan kota Betawi tempoe doloe dimulai dengan kesibukan ibu – ibu dan anaknya pergi ke kali Ciliwung untuk mandi dan mencuci. Hal yang sama dilakukan oleh tukang penatu untuk merebut tempat strategis di tepi sungai sambil memikul pakaian kotor konsumen yang dimuat di sundung. Sundung adalah alat pemikul yang terbuat dari bambo. Kedua ujungnya, tempat pakaian diletakan berbentuk huruf “V”.

Tukang penatu zaman dulu tubuhnya tegap. Maklum, busana yang harus dicuci umumnya terbuat dari drill khaki yang tebal. Konsumenya kebanyakan tetangga mereka sendiri. Sehingga tidak diperlukan tanda terima. Karena mereka hafal busana tetangganya masing – masing .

Tetapi, tidak jarang terjadi ke khilafan. Ada saja celana konsumen yang hilang atau terbawa orang lain. Kalau sudah terjadi kasus seperti ini, tukang penatu menjadi sasaran omelan. Ada yang mengomel dengan kemarahan dan ada pula yang melampiaskanya kemarahanya dengan berpantun. Begini bunyinya “ Pisang batu makanan kampret, pisang raja dimakan kutilang. Tukang binatu ma’di sompret, celana satu dikeje ilang”.

Sementara itu untuk menjaga kebersihan lingkungan rumah dari sampah, pemerintah kota menganjurkan untuk membakarnya. Sampah haruas dikumpulkan pada tempatnya ( biasanya lubang ditanah berukuran 1m x 1m ) dan setelah itu dibakar.

Bakaran sampah dinamakan tabunan. Menabun biasanya dilakukan pada sore hari agar asapnya tidak mengenai pakaian yang sedang dijemur. Dengan demikian pekarangan rumah zaman dulu selalu bersih dan sampah tidak menjadi sumber penyakit karena musnah terbakar.

( Asep Setiawan, pemerhati budaya )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar