Jumat, 22 Juli 2011
Permainan Anak Betawi
Permainan anak – anak Betawi pada hakikatnya tidak banyak brebeda dengan permainan anak – anak dari daerah lain di Indonesia, terutama dengan permainan anak – anak di Jawa. Uniknya, persamaan ini bukan dengan permainan anak – anak Jawa Barat, yang wilayahnya lebih dekat, bahkan berbatasan. Hal ini kamungkinan besar karena banyak orang dari suku jawa yang terdampar di pinggiran betawi – yaitu prajurit – prajurit Sultan AgungMataram yang menyerang Batavia pada tahun 1628 dan 1629.
Beberapa macam permainan anak – anak Betawi tersebut hanya berbeda pada nama dan nyanyianya saja dengan permainan anak – anak dari Jawa, sedangkan esensinya sama. Misalnya, permainan anak – anak Jawa Cublak – Cublak Suweng, di Betawi bernama Cublak – Cublak Uang.
Kelebihan permainan anak - anak Betawi mungkin pada jumlahnya yang kaya. Diperkirakan ada sekitar 40 macam. Ini dapat dimengerti karena etnis Betawi terbentuk oleh perpaduan berbagai etnis. Setiap etnis mungkin memberikan sumbangan ide dan pola permainan anak – anak dari daerahnya mashing – masing
Permainan anak – anak Betawi dewasa ini makin punah, factor penyebab kepunahanya sama dengan penyebab kepunahan unsur – unsur budaya Betawi lainya, yaitu modernisasi di segalka bidang kehidupan baik fisik maupun alam pikiran.
Di dalam beberapa jenis permainan anak – anak Betawi jika disimak lebih teliti sesungguhnya banyak mengandung aspek pendidikandan falsafah hidup. Misalnya permainan petok roti. Permainan mencari teman yang bersembunyi ini biasanya dilakukan pada malam hari. Padahal kota Jakarta pada waktu itu tidak seterang sekarang. Masih banyak tempat yang sepi dan gelap. Banyak pula pepohonan yang rimbun dan semak – semak. Beberapa tempat bahkan dibilang tempat yang angker alias banyak hantunya. Disini jelas maksud permainan ini adalah mengajar anak – anak menjadi orang yang pemberani.
Ada pula permainan tok – tok pintu atau gali – gali ubi. Permainan ini melambangkan agar anak betawi hendaknya bermurah hari.
Masih banyak lagi permainan anak – anak Betawi yang lain seperti Deng – ndengan , Wak – Wak Gung, Ciblak – Ciblak Uang, Ci – Ci Putri, Petak Ingo, Petak Umpet,Ttombok, Pletokan, Galah Asin, Bekel, Olelio, Bentengan dan banyak lagi permainan yang belum tercatat.
( Asep Setiawan, pemerhati budaya )
Mistik Betawi
konsep mistik Betawi dipengaruhi oleh Kebudayaan Jawa dan sedikit China. Konsep makhluk halus, atau masyarakat Betawi biasanya menyebutnya setan, amat menakutkan bagi anak – anak. Ada berbagai jenis setan dalam dunia anak – anak Betawi. Ada setan longga – longga yang tubuhnya tinggi besar. Setan ini tidak senang melihat anak – anak yang tidur sembarangan.
Ada kelongwewe, setan berwujud perempuan yang payudaranya sebesar bantal. Setan ini suka menyembunyikan anak – anak yang tidur di kolong tempat tidur.
Ada setan kicik, yang selain suka mencuri uang juga suka menjilati kaki anak – anak yang tidur tanpa mencuci kaki.
Sementara dalam siklus kehidupan kewanitaan dikenal ada setan yang suka menggangu wanita hamil. Setan ini disebut kuntilanak. Karena itu wanita hamil sering dianjurkan memakai penajem ( semacam alat penangkal ), misalnya pisau lipat atau gunting kecil yang digantung dileher seperti aksesoris.
Kuntilanak diyakini suka berayun – ayun di pohon yang rimbun. Karena itu batang pohon yang rimbun yang tumbuh dipekarangan dipantek dengan paku besar.
Untuk menghormati keberadaan para makhluk halus itu, para orang tua zaman dahulu menganjurkan agar bila terpaksa membuang air kecil di bawah pohon jangan asal mengucur saja. Tetapi, harus meminta izin dengan mengucapkan kalimat “ numpang – numpang “. Kalau tidak, bisa berakibat tidak baik.
Makhluk halus yang merasa terganggu dengan orang yang membuang air kecil sembarangan itu bisa marah, yakni dengan merasuki orang itu. Oarng itu menjadi kesurupan, suka mengamuk dan meracau. Jika sudah begini, tiga atau empat orang tak akan mampu menenangkanya. Maka jasa “orang pintar “diminta. Tempoe doloe, hamper setiap kampong memiliki “orang pintar“ yang dapat mengusir setan.
Orang yang kesurupan dipegang urat nadi tangan atau pergelangan kakinya. Sebelumnya bagian tubuh diolesi bangle atau bawang putih. Bagian tubuh yang dipegang “ orang pintar “ itu konon ada biji batunya sebesar biji kacang hijau. orang pintar akan memijit – mijit biji kacang hijau itu. Akibatnya, orang yang kesurupan berteriak – teriak dan minta maaf.
Biasanya, sebelum minta maaf dan pergi, makhluk halus yang merasuki itu akan menerangkan sebab – sebab dia merasuk kedalam tubuh orang yang kesurupan itu. Dan sebelum ia pergi, setan itu akan mengajukan syarat yang harus dipenuhi oleh keluarga korban yang kesurupan. Misalnya, minta disediakan kopi atau rokok yang disenangi setan itu. Setelah permintaan dipenuhi barulah setan itu pergi meninggalkan raga si korban.
( Asep Setiawan, pemerhati bdaya )
Ada kelongwewe, setan berwujud perempuan yang payudaranya sebesar bantal. Setan ini suka menyembunyikan anak – anak yang tidur di kolong tempat tidur.
Ada setan kicik, yang selain suka mencuri uang juga suka menjilati kaki anak – anak yang tidur tanpa mencuci kaki.
Sementara dalam siklus kehidupan kewanitaan dikenal ada setan yang suka menggangu wanita hamil. Setan ini disebut kuntilanak. Karena itu wanita hamil sering dianjurkan memakai penajem ( semacam alat penangkal ), misalnya pisau lipat atau gunting kecil yang digantung dileher seperti aksesoris.
Kuntilanak diyakini suka berayun – ayun di pohon yang rimbun. Karena itu batang pohon yang rimbun yang tumbuh dipekarangan dipantek dengan paku besar.
Untuk menghormati keberadaan para makhluk halus itu, para orang tua zaman dahulu menganjurkan agar bila terpaksa membuang air kecil di bawah pohon jangan asal mengucur saja. Tetapi, harus meminta izin dengan mengucapkan kalimat “ numpang – numpang “. Kalau tidak, bisa berakibat tidak baik.
Makhluk halus yang merasa terganggu dengan orang yang membuang air kecil sembarangan itu bisa marah, yakni dengan merasuki orang itu. Oarng itu menjadi kesurupan, suka mengamuk dan meracau. Jika sudah begini, tiga atau empat orang tak akan mampu menenangkanya. Maka jasa “orang pintar “diminta. Tempoe doloe, hamper setiap kampong memiliki “orang pintar“ yang dapat mengusir setan.
Orang yang kesurupan dipegang urat nadi tangan atau pergelangan kakinya. Sebelumnya bagian tubuh diolesi bangle atau bawang putih. Bagian tubuh yang dipegang “ orang pintar “ itu konon ada biji batunya sebesar biji kacang hijau. orang pintar akan memijit – mijit biji kacang hijau itu. Akibatnya, orang yang kesurupan berteriak – teriak dan minta maaf.
Biasanya, sebelum minta maaf dan pergi, makhluk halus yang merasuki itu akan menerangkan sebab – sebab dia merasuk kedalam tubuh orang yang kesurupan itu. Dan sebelum ia pergi, setan itu akan mengajukan syarat yang harus dipenuhi oleh keluarga korban yang kesurupan. Misalnya, minta disediakan kopi atau rokok yang disenangi setan itu. Setelah permintaan dipenuhi barulah setan itu pergi meninggalkan raga si korban.
( Asep Setiawan, pemerhati bdaya )
Jumat, 01 Juli 2011
Kisah Nama Jalan di Pecinaan
Disamping penhgaruh Belanda, pengaruh China di Jakarta merambah kemana – kemana, tak terkecuali dalam hal nama tempat atau nama jalan. Setelah pembantaian di Batavia pada tahun 1740, etnis China mendapat tempat khusus yang disebut Pecinaan lokasinya sekitar Pancora – Gelodok sekarang.
Ada nama – nama pengaruh China bisa dilihat dari nama – nama popular yang amsih sering disebut – sebut masyarakat, meskipun nama tersebut sudah berganti saat ini. Mungkin generasi sekarang cuma mendengar nama Jalan Jelakeng. Dulu, sebelum berganti menjadi Jalan Perniagaan Barat, nama Jelakeng cukup popular.
Jalan Jelakeng pada abad – 18 disebut Jalan “ Jie Lak Keng ”. dalam dialek Hokkian jie =2 dan lak =6, jadi bermakna 26 bangunan. Di kawasan ini dikabarkan pernah terdapat 26 bangunan yang semuanya dimanfaatkan untuk tujuan wisata. Ada pula yang berpendapat yang dimaksud adalah bangunan nomor 26.
Ketika itu pertengahan abad – 18, Jie Lak Keng menjadi “ Las Vegas”- nya Batavia. Orang – orang kaya dan ningrat dari mancanegara kerap datang ketempat ini. Lantai bawah umumnya digunakan untuk menghisap madat, sedangkan lantai atas untuk prostitusi dan judi. Musik gambang kromong selalu mengiringi kenikmatan sesaat itu.
Setelah berjalan hamper satu abad, pamor Jie Lak Keng memudar seiring berkembangnya rumah – rumah prostitusi dan madat di wilayah Glodok. Sekitar tahun 1930-an, Jie Lak Keng sudah menjadi kawasan perdagangan produk logam seperti paku, seng, besi beton, dan berbagai perkakas dari besi. Memasuki awal tahun 1980-an, kawasan perdagangan ini kalah populer oleh kawasan perdagangan dan pusat – pusat perbelanjaan baru yang tumbuh disekitarnya. Pada kisaran masa itu pula nama Jelakeng diganti menajdi Perniagaan Barat.
Sepperti halnya Jalan Perniagaan Barat, dulu Jalan Perniagaan Raya disebut Jalan Patekoan. Nama itu berasal dari Pa Tek Wan, pa atau pat = depan dan tek wan = poci. Konon, dulu seorang kapiten Tionghoa, Gan Djie, mempunyai isteri yang sangat baik. Tiap hari sang isteri menyiapkan delapan poci berisi air the dijalan itu agar masyarakat yang melintas dapat meneguk air bila kehausan. Persediaan air itu ternyata menjadi cirri bagi orang – orang yang ingin mencari kantor officer Tionghoa itu. Di mana ada pat-tek-koan, disitulah tempat tinggal Kapiten Gan.
Beberaqpa nama lain sudah berganti pula, seperti Jalan Souw Beng Kong di bagian kiri Jalan Pangeran Jayakarta dari arah Beos. Nama ini menjadi Jalan Taruna. Hanya nama Jalan Lautze yang masih bertahan sampai kini. Mungkin karena di lingkungan tersebut terdapat masjid untuk komunitas China Muslim.
( Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya )
Ada nama – nama pengaruh China bisa dilihat dari nama – nama popular yang amsih sering disebut – sebut masyarakat, meskipun nama tersebut sudah berganti saat ini. Mungkin generasi sekarang cuma mendengar nama Jalan Jelakeng. Dulu, sebelum berganti menjadi Jalan Perniagaan Barat, nama Jelakeng cukup popular.
Jalan Jelakeng pada abad – 18 disebut Jalan “ Jie Lak Keng ”. dalam dialek Hokkian jie =2 dan lak =6, jadi bermakna 26 bangunan. Di kawasan ini dikabarkan pernah terdapat 26 bangunan yang semuanya dimanfaatkan untuk tujuan wisata. Ada pula yang berpendapat yang dimaksud adalah bangunan nomor 26.
Ketika itu pertengahan abad – 18, Jie Lak Keng menjadi “ Las Vegas”- nya Batavia. Orang – orang kaya dan ningrat dari mancanegara kerap datang ketempat ini. Lantai bawah umumnya digunakan untuk menghisap madat, sedangkan lantai atas untuk prostitusi dan judi. Musik gambang kromong selalu mengiringi kenikmatan sesaat itu.
Setelah berjalan hamper satu abad, pamor Jie Lak Keng memudar seiring berkembangnya rumah – rumah prostitusi dan madat di wilayah Glodok. Sekitar tahun 1930-an, Jie Lak Keng sudah menjadi kawasan perdagangan produk logam seperti paku, seng, besi beton, dan berbagai perkakas dari besi. Memasuki awal tahun 1980-an, kawasan perdagangan ini kalah populer oleh kawasan perdagangan dan pusat – pusat perbelanjaan baru yang tumbuh disekitarnya. Pada kisaran masa itu pula nama Jelakeng diganti menajdi Perniagaan Barat.
Sepperti halnya Jalan Perniagaan Barat, dulu Jalan Perniagaan Raya disebut Jalan Patekoan. Nama itu berasal dari Pa Tek Wan, pa atau pat = depan dan tek wan = poci. Konon, dulu seorang kapiten Tionghoa, Gan Djie, mempunyai isteri yang sangat baik. Tiap hari sang isteri menyiapkan delapan poci berisi air the dijalan itu agar masyarakat yang melintas dapat meneguk air bila kehausan. Persediaan air itu ternyata menjadi cirri bagi orang – orang yang ingin mencari kantor officer Tionghoa itu. Di mana ada pat-tek-koan, disitulah tempat tinggal Kapiten Gan.
Beberaqpa nama lain sudah berganti pula, seperti Jalan Souw Beng Kong di bagian kiri Jalan Pangeran Jayakarta dari arah Beos. Nama ini menjadi Jalan Taruna. Hanya nama Jalan Lautze yang masih bertahan sampai kini. Mungkin karena di lingkungan tersebut terdapat masjid untuk komunitas China Muslim.
( Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya )
Ex Me Ipsa Renata Sum
Gedung eks Balai Kota Batavia yang kini menjadi Musium Sejarah Jakarta ( MSJ ) masih menyisakan berbagai berbagai kisah kehidupan kota Batavia. Kisah gedung itu sendiri pun masih menarik disimak, berpadu dengan berbagai koleksi yang bukan hanya bisa dinikmati tapi yang paling penting, bisa dipelajari.
Masuk ke gedung bekas Stadhuis atau Balai Kota Batavia, menuju halaman belakang tersimpan pula beberapa koleksi yang menyatu dengan taman belakang. Sebut saja Patung Hermes, Meriam Si Jagur, dan Prasasti atau Monumen Pieter Erberveld.
Meriam perunggu bertuliskan “ ex me ipsa renata sum “ dan terkenal dengan nama Si Jagur kini berada di belakang taman MSJ. Persis dihadapan si meriam, berdiri patung Hermes. Sebelum sampai pada posisi sekarang ini, Meriam Si Jagur beberapa kali pindah tempat. Meriam Portugis ini dibawa ke Batavia oleh Belanda, setelah merebut Malaka tahun 1641, untuk ditempatkan di Benteng Belanda untuk menajga pelabuhan.
Menurut Adolf Heuken dalam Tempat – tempat bersejarah di Jakarta, arti kalimat berbahasa latin itu adalah “ dari sayasendiri aku dilahirkan kembali “. Dari kalimat es me ipsa renata sum itu, tersimpan symbol X, I dan V ( Ex Ipsa renata sVm ) yang memberi arti bahwa meriam itu dibikin dari 16 ( X + I + V ) meriam untuk benteng malaka.
Keunikan lain meriam itu adalah simbol Mano in Fica. Dalam kamus simbolisasi, Mano in Fica yaitu symbol jempol dalam kepalan tangan bermakna sebuah representasi kuno persatuan seksual atau persetubuhan. Dalam tradisi Roma, symbol itu di asosiasikan dengan kesuburan dan erotisme. Maka kisah tentang tahayul pun merebak sehingga dimasa lampau meriam ini dianggap keramat. Pasangan suami isteri yang menginginkan anak, mendatangi meriam ini untuk melakukan ritual menabur bunga dan kemudian menduduki meriam tersebut.
Museum Pusat ( kini museum nasional ) sempat menjadi tempat Si Jagur sebelum kemudian dipindah ke Msueum Wayang diseputar tahun 1968. kisah Akum, petugas MSJ yang sudah lebih dari 30 tahun membantu museum, “ saya ikut mangangkat Si Jagur masuk ke Museum Wayang “ sesuai dengan data Heuke yang menyebut, untuk menjaga Si Jagur, maka meriam ini disimpan di ruang bawah Museum Wayang.
Sekitar tahun 1974, meriam itu kemudian keluar dari persembunyian, diletakan di Taman Fatahillah hingga tertutup pedagang kaki lima.
( Pradaningrum Mijarto )
Matraman Medan Pertempura
konon kata matraman diambil dari kata Mataraman, karena kawasan itu dulunya dijadikan perkubuan oleh pasukan Mataram dalam rangka penyerangan kota Batavia melalui darat. Pasukan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung ketika itu dua kali menyerang VOC di Baravia pada tahun 1628 – 1629. sedang VOC saat itu dipimpin oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen.
Sejak saat itulah kubu pertahanan Mataram ini kemudian diabadikan menjadi nama tempat sehingga sekarang. Enath karena apa, lidah orang betawi waktu itu menyebut Mataram menjadi Mtraman.
Pada tahun 1811, di daerah Matraman terjadi pertempuran besar antara pasukan Inggris dengan pasukan Belanda yang dimenangkan oleh pasukan Inggris, dan menandai dimulainya masa pendudukan Inggris di Pulau Jawa. Thomas Raffles lalu membangun markas – markas militer dikawasan itu hingga Jatinegara ( Alwi Shahab, 2001 ).
Setelah berbagai pertempuran besar selesai dan beberapa markas militer dibangun, ternyata tidak menjamin daerah Matraman aman. Pada awal tahun 1900-an, kawasan tersebut bahkan menajadi tempat rawan kejahatan. Koran Bintang Betawi, yang terbit untuk wilayah Betawi dan sekitarnya memberitakan beberapa kejahatan yang pernah terjadi disitu, salah satunya dimuat pada tanggal 3 Juli 1902.
“ diceritakan bahwa belum lama berselang, seorang Belanda bernama Tuan V, diserang oleh satu soldadu peranakan yang langsung melompat naik kedalam dos-a-dosnya saat dia melewati daerah antara Salemba dan Mr Cornelis ( Jatinegara ). Setelah berhasil masuk, soldadu ini lantas menusuk Tuan V, beruntung tusukanya luput.
Tuan V segera turun dari dos-a-dosnya, sedang soldadu itu lalu memaksa kusir untuk membawanya pergi dari situ, Tuan V lantas mengambil dos-a-dos lain untuk mengejar soldadu itu. Tapi soldadu itu ternyata langsung berlari masuk ke dalam tangsi, lalu memanjat tembok dan menghilang.”
Saat ini, Matraman masih memiliki reputasi yang kurang sedap. Bentrok antar warga masih sering terjadi hanya karena masalah sepele. Mungkin semangat “ bertempur “ dari pasukan Mataram masih diwarisi oleh penduduk daerah itu, sayang pertempuran itu justru dilakukan sesama saudara sebangsa.
( Lily Utami, pemerhati masalah sosial dan budaya )
Baron von Imhoff, Orang Jerman di VOC
Di kota Leer, Jerman Utara, pada tanggal 8 Agustus tahun 1705 lahir Gustav Wilhelm Baron von Imhoff. Sejak muda von Imhoff sudah tertarik pada negeri – negeri nan jauh diseberang khatulistiwa. Kedekatanya dengan Belanda mempengaruhi pandanganya terhadap dunia. Cita – cita von Imhoff melanglang buana terwujud ketika dia menjadi pejabat VOC.
VOC banyak merekrut pemuda asal Jerman. Bahkan yang istimewa Voc juga merekrut orang Skotlandia, Polandia, Swis, dan Perancis. Dalam aturan memang jelas dikatakan, siapa saja orang Eropa boleh menajdi pegawai VOC. Pada tahun 1725 von Imhoff berangkat ke Batavia.
Di sinilah karis von Imhoff bermula. Di Batavia dia menikah dengan puteri mantan Gubernur Jenderal Huysman van der Hille. Karena perkawinan itu, dia menjadi lebih terpandang di kalangan bangsawan Belanda. Pada tahun 1730 dia diangkat sebagai inspektur pelabuhan. Pada tahun 1736 dia menajdi Gubernur Ceylon, yang juga dibawah kekuasaan VOC. Pada tahun 1738 von Imhoff dipindahkan lagi ke Batavia sebagai anggota Dewan Hindia.
Pada tahun 1740 dibawah Gubernur Jenderal Adrian Valckenier terjadi huru – hara yang dalam peristiwa sejarah dikenal sebagai “ pembantaian orang – orang Tionghoa di Batavia “ . akibatnya pemerintah Belanda mengganti Valckenier dengan von Imhoff. Sebagai Gubernur Jenderal, von Imhoff mendapat kuasa penuh untuk melakukan reformasi dalam tubuh VOC.
Pada tahun 1741, menurut Rudiger Siebert dari Radio Suara Jerman Deutsche Welle, von Imhoff membuat memorandum untuk VOC yang membahas masalah kondisi VOC, yakni bagaimana memperbaiki dan mempertahankan kekuasaan VOC. Ketika itu VOC telah menjadi badan yang bobrok karena ulah para pejabatnya.
Kondisi Batavia juga semakin kotor. Menurut von Imhoff, tidak masuk akal kalau Batavia dibangun seperti kota di Belanda dengan banyak kanal atau sungai. Hal itu dipandangnya hanya menjadi sarang nyamuk dan benih penyakit lain. Imhoff lalu mencari daerah pedalaman yang lebih sehat. Pada tahun 1745 dia memerintahkan pembangunan tempat kediaman yang dinamakan Buitenzorg atau ‘ tanpa kesusahan ‘. Lokasinya di bagian utara Kebun Raya Bogor sekarang.
Di Batavia selain menentang korupsi von Imhoff mendirikan sekolah kelautan atau Akademie de marine dan tempat pendidikan untuk masyarakat luas. Dia juga membuka sekolah Seminari. Namun untuk membersihkan VOC, dia sudah terlambat. Pada tahun 1750 von Imhoff meninggal. Hanya jejaknya masih tertinggal di Batavia, yaitu batu nisanya di Museum Wayang dan tempat kediamanya sebelum menjadi Gubernur Jenderal yang sekarang dikenal sebagai Toko Merah.
( Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya )
Asal Muasal Nama Betawi
Banyak yang berpendapat bahwa kata Betawiberasal dari transleterasi tulisan Batavia ke tulisan Arab, karena pada masa lalu kebanyakan orang Betawi memang dapat membaca dan menulis dalam huruf Arab Pegon ( Arab gundul / tanpa baris ).
Tetapi dalam naskah – naskah Betawi ditulis pada abad ke-18 dan 19, cara menuliskan Batavia sebagai kota dalam huruf Arab Pagon adalah Batafiya ( ba, ta, fa, ya ). Sedangkan cara menuliskan nama Betawi sebagai suku bangsa adalah Batawi ( ba, ta, waw, ya ).
Kata Betawi sebagai nama suku bangsa berdasarkan dokumen tertulis kesaksian Nyai Inqua ( seorang Nyai keturunan China ), telah digunakan jauh sebelum tahun 1644, yaitu sebelum kota jayakarta diganti namanya oleh Belanda menjadi Batavia.
Dalam bahasa Melayu Brunei, menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, Betawi adalah sejenis anting – anting. Satu arti dengan kata tersebut adalah nama Karawang dan Subang di Jawa Barat.
Menurut ahli linguistic berkebangsaan Jerman, Prof. Bern Nothofer, bahasa Melayu telah dipergunakan oleh penduduk yang kini disebut Betawi sejak abad ke-10. komunitas ini untuk kurun waktu yang lama disebut Melayu Jawa. Mereka mendiami daerah pesisir pantai utara Jakarta dan kawasan selat Kepulauan Seribu.
Nama – nama tempat di kawasan pesisisr meninggalkan jejak Melayu seperti Kampong Melayu, Teluk Naga ( di Tangerang ), Tanah Melayu, dan Sunter ( Sontar ) di Jakarta Utara.
Ditilik dari sudut adat istiadat, budaya dan keseniannya, orang Betawi sepenuhnya adalah orang Melayu. Tes DNA yang pernah dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor ( IPB ) menunjukan kesimpulan yang sama.
Tidak diketahui dengan pasti sejak kapan orang – orang Melayu sudah mendiami pulau Jawa, khususnya Tanah Betawi. Menurut Ridwan, sangat mungkin sejak Kerajaan Sriwijaya menguasai Jawa. Namnun, sejak runtuhnya Sriwijaya, penduduk yang mendiami Tanah Betawi berada dibawah kendali Kerajaan Sunda.
Wilayah yang didiami oleh orang – orang Melayu Betawi menurut peta yang dibuat oleh Pangeran Panembong pada abad ke-15 dinamakan Nusa Kalapa. Batas – batas wilayahnya adalah Sungai Ci Tarum di sebelah Timur dan Sungai Ci Sadane disebelah Barat.
Pelabuhanya bernama Kalapa. Nama Sunda Kalapa ( Cumda Calapa ) yang digunakan orang – orang portugis mengacu pada nama selat di sebelah Barat Kalapa yaitu Selat Sunda.
Tidak satu pun, kata Ridwan, naskah – naskah kuno Parahyangan menyebut nama Pelabuhan ini dengan nama Sunda Kalapa.
( Asep Setiawan, pemerhati budaya )
Tetapi dalam naskah – naskah Betawi ditulis pada abad ke-18 dan 19, cara menuliskan Batavia sebagai kota dalam huruf Arab Pagon adalah Batafiya ( ba, ta, fa, ya ). Sedangkan cara menuliskan nama Betawi sebagai suku bangsa adalah Batawi ( ba, ta, waw, ya ).
Kata Betawi sebagai nama suku bangsa berdasarkan dokumen tertulis kesaksian Nyai Inqua ( seorang Nyai keturunan China ), telah digunakan jauh sebelum tahun 1644, yaitu sebelum kota jayakarta diganti namanya oleh Belanda menjadi Batavia.
Dalam bahasa Melayu Brunei, menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, Betawi adalah sejenis anting – anting. Satu arti dengan kata tersebut adalah nama Karawang dan Subang di Jawa Barat.
Menurut ahli linguistic berkebangsaan Jerman, Prof. Bern Nothofer, bahasa Melayu telah dipergunakan oleh penduduk yang kini disebut Betawi sejak abad ke-10. komunitas ini untuk kurun waktu yang lama disebut Melayu Jawa. Mereka mendiami daerah pesisir pantai utara Jakarta dan kawasan selat Kepulauan Seribu.
Nama – nama tempat di kawasan pesisisr meninggalkan jejak Melayu seperti Kampong Melayu, Teluk Naga ( di Tangerang ), Tanah Melayu, dan Sunter ( Sontar ) di Jakarta Utara.
Ditilik dari sudut adat istiadat, budaya dan keseniannya, orang Betawi sepenuhnya adalah orang Melayu. Tes DNA yang pernah dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor ( IPB ) menunjukan kesimpulan yang sama.
Tidak diketahui dengan pasti sejak kapan orang – orang Melayu sudah mendiami pulau Jawa, khususnya Tanah Betawi. Menurut Ridwan, sangat mungkin sejak Kerajaan Sriwijaya menguasai Jawa. Namnun, sejak runtuhnya Sriwijaya, penduduk yang mendiami Tanah Betawi berada dibawah kendali Kerajaan Sunda.
Wilayah yang didiami oleh orang – orang Melayu Betawi menurut peta yang dibuat oleh Pangeran Panembong pada abad ke-15 dinamakan Nusa Kalapa. Batas – batas wilayahnya adalah Sungai Ci Tarum di sebelah Timur dan Sungai Ci Sadane disebelah Barat.
Pelabuhanya bernama Kalapa. Nama Sunda Kalapa ( Cumda Calapa ) yang digunakan orang – orang portugis mengacu pada nama selat di sebelah Barat Kalapa yaitu Selat Sunda.
Tidak satu pun, kata Ridwan, naskah – naskah kuno Parahyangan menyebut nama Pelabuhan ini dengan nama Sunda Kalapa.
( Asep Setiawan, pemerhati budaya )
Langganan:
Postingan (Atom)