"KOMUNITAS PECINTA SEJARAH KOTA TUA"

Minggu, 22 Mei 2011

Kemegahan Eropa di Selatan Katulistiwa

Tanpa lelah, Dr Strehler menuliskan kesan-kesanya mengunjungi Batavia dalam buku harianya, Bijzonderheden wegens Batavia en deszelfs omstreken: uit het dagboek gedurende twee reizen derwaarts in 1828-1830 ( Haarlem: de Wed. A. Lossjes PZ. 1833).
Bila orang datang dari arah pelabuhan Sunda Kelapa, daerah Batavia yang pertama di depan mata adalah Molenvliet. Daerah ini ditanami pohon-pohon yang rindang. Di sebelah kiri terdapat kanal dan di sebelah kana berjejer rumah-rumah yang bagus berhalaman luas. Di bagian depan rumah-rumah itu ada beranda dengan perabotan yang mengundang pemiliknya duduk-duduk santai setelah matahari terbenam , yang lelaki dengan cerutu tergantung di bibir dan yang wanita dengan secangkir the hangat ditangan.
Kanal di Molenvliet itu diramaikan oleh biduk-biduk petani, orang cina dan penjual rumput, mentega, susu dan buah-buahan. Pagi hari kanal itu dipenuhi oleh artisan lelaki, perempuan, anak-anak, kerbau, kuda, sapi, babi dan kambing. Ratusan manusia dan binatang bersama-sama mandi mencuci pakaian dan berendam nikmat. Jalan disamping kanal itu ramai oleh bendi dan kereta yang ditarik dua atau empat ekor kuda membawa tuannya ke kantor, gudang dan pertokoan. Adapula pedati yang ditarik oleh dua kernau tua. Sekitar setengah hari, panas menyengat memaksa orang masuk rumah, hannya tinggal beberapa pedagang cina yang berkeliling dengan payung di satu tangan dan semacam alat bunyi-bunyian untuk memanggil pembeli. Budak pedagang itu berjalan terseok di belakang sambil membawa barang dagangan dalam keranjang-keranjang yang digantung di galah bambu di bahunya. Beberapa kuli datang dari arah lain membawa gembor untuk menyiram jalanan yang berdebu.
Di ujung jalan Molenvliet, disebelah kanan terdapat gedung Societeit der Hamonie (Gedung Kesenian). jalan raya it terus sampai ke Koningsplein. Di sebelah kiri, ada jalan kecil menuju Weltevreden. Jalan ini menyusuri kanal lebar dengan Rijswijk di sebelah kananya dan Noordwijk di sebelah kiri. Rijswijk adalah daerah yang mengesankan dengan istana Gubernur –Jenderal yang megah dan gedung-gedung besar lainnya. Rumah-rumah newah para pedagang dan pegawai pemerintah lebih banyak dibangun di Noordwijk. Weltevreden agak berbeda dengan Rijswijk maupun Noordwijk karna daerah itu di tata seperti kota Eropa dengan rumah-rumah yang dibangun berjajar rapi.
( Frieda Amran, antropolog, tinggal di Belanda)

Rabu, 18 Mei 2011

Ciliwung Riwayatmu Dulu


banjir lagi, banjir lagi. Di Jakarta ditangan ahlinnya saja masih kewalahan menghadapi fenomena yang satu ini. Jangankan menghilangkan, meminimaliskan banjir saja bukanmain sulitnnya.
Prilaku masyarakat dituding menjadi penyebab terjadinnya banjir atau genangan. Membuang sampah sembarangan sehingga drainase menjadi tersumbat memang merupakan pemandangan sehari-hari, terutama di wilayah-wilayah sepanjang bantaran Sungai Ciliwung.
Curah hujan yang tinggi, penumpukan sampah, pendangkalan sungai, drainase buruk, dan minimnnya tanah resapan, merupakan penyebab banjir di Jakarta yang sudah lama teridentifikasi. Pesatnnya urbanisasi ke Jakarta menjadi salah satu faktor kondisi ini.
Tidak diperkirakan sebelumnnya, dalam kurun waktu seratus tahun saja sungguh-sungguh di Jakarta telah mengalami penurunan kualitas sangat besar. Pada abad 19, air sungai-sungai di Jakarta masih bening sehingga bisa digunakan untuk minum, mandi, dan mencuci pakaian.
Bahkan ratusan tahun yang lalu, Sungai Ciliwung banyak dipuji-puji pendatang asing. Disebutkan, pada abad 15-16 Ciliwung merupakan sebuah sungai indah, berair jernih dan bersih, mengalir ditengah kota. Hal ini sangat dirasakan para pedagang yang berlabuh di Pelabuhan Sundakelapa.
Ketika itu Ciliwung mampu menampung 10 kapal dagang dengan kapasitas sampai 100 ton, masuk dan berlabuh dengan aman di Sundakelapa. Kini jangankan kapal besar , kapal kecil saja sulit melayari Ciliwung karena baling-baling kapal hampier selalu tersangkut sampah.
Sumber lain mengatakan, selama ratusan tahun air Ciliwung mengalir bebas, tidak berlumpur, dan tenang. Karena itu banyak kapten kapal asing singgah untuk mengambil air segar yang cukup baik untuk di isiikan ke botol dan guci mereka.
( Djulianto susantio)

Ngupi ame Ruti


pada satu zaman dulu ngupi ame ruti ( minum kopi dengan roti ) termasuk kegiatan yang top. Tidak semua ibu rumah tangga mampu menyediakan hidangan itu bagi suaminnya, karena roti masih langka dan harganya mahal. “Ruti, apelagi dipake mentege, itu sih makanan Belande,”kata orang zaman dulu.

Seiring dengan berjalanya waktu, seni boga Betawi juga makin berkembang. Kaum ibu membuat bermacam-macam panganan utnuk hidangan resmi seperti kue onde pite, talam udang, pastel nastar, bubur sumsum, srikaya, dan kue pepe. Sedangkan untuk “iseng-iseng”dibuat empleng-empleng.

Orang Betawi pinggir memproduksi makanan dengan nama yang jenaka, misalnnya ongol-ongol, sengkulun, rengginang, dangeplak. Cuma satu yang namannya cantik, yaitu kue putu mayang. Ini satu-satunnya kue yang dipotong mesti menggunakan sembilu (bagian kulit bamboo yang dipotong tipis dan tajam).

Kue-kue asal Betawi itu kini jarang, bahkan sulit, dijumpai. Orang-orang Jakarta sudah terbiasa ngupi ame ruti. Kebiasaan ini meluas sejak pertengahan tahun 1960-an. Sampai-sampai, tukang kopi dipinggir jalan pun menyediakan roti bakar, sehingga kue pancong kalah pamor.

Entah bagaimana nasib cetakan kue pancong berikut ganconnya. Dan, kini roti bukan sekedar pengganti kue. Bahkan sudah “naik pangkat” menggantikan nasi sebagai sarapan pagi.

Derasnnya modernisasi telah menggusur tukang kopi pinggir jalan, dan fungsi mereka digantikan oleh café & bakery, serta coffe shop yang kini juga merambah sampai ke mal-mal.

( Asep Setiawan, pemerhati budaya)

Kamis, 12 Mei 2011

Djalan-djalan ke Pasar Baroe

Satu janm pastilah tidak cukup bagi Dr.Strehler (dalam Bijzonderheden
wegens Batavia en deszelfs omstreken : uit het dagboek gedurende twee reizen derwaart in 1828-1830 van Dr Strehler haarlem: de Wed A Lossjes pz.1833) untuk melihat segala sesuatu yang dapat dilihat di Pasar Baroe.
Apa saja yang dikehendaki ada di pasar itu, mulai dari hasil pertanian sampai ke kerajinan tangan penduduk Batavia. Pedagang makanan mentah berdampingan dengan pedagang makanan jadi yang berbau lezat.
Menu hidangan yang lengkap tersebar di seantero pasar. Nasi kuning di sudut sini dan di sudut sana, keri ikan, keri ayam, sambel, kacang goring, kwe-kwe atau kueh yang dibuat dari beras
Di tempat lain, seorang koki dan pembantunya sibuk memasak. Di bawah tendannya makanan yang amsih mengepul di hidangkan menggunakan daun-daun pisang.
Seorang gadis kecil menawarkan air tebu yang manis kepada lelaki yang melintas di depanya.Tak jauh dari gadis itu, seorang wanita menjua; daun sirih, gambir, dan pinang. Di sebuah warung, beberapa lelaki duduk-duduk minum kopi, sementara di warung lain, dijual arak atau tuak yang dicampur dengan gula jawa.
Di tempat yang agak terpencil beberapa orang asik menghisapcandu. Beberapa diantara mereka tergeletak di warung itu.tertidur atau tak lagi sadarkan diri? Sebelum dapat dihisap dan di nikmati, candu itu dimasak terlebih dahulu, disaring kemudian dicampur dengan tembakau sedikit.Setelah prose situ, candu itu disebut madat.
Madat atau tembakau yang sudah dicampur candu dibentuk menjadi bole-bole kecil yang dapat dilinting menjadi rokok. Bau asap madat yang wangi hampir tak terciumkarena orang-orang itu menghisap asapnnya dalam-dalam dan menelannya.
Tak satu hembusan pun direlakan keluar dari hidung mereka, kalaupun ada asap madat yang berhasil lolos keluar warung itu, baunya hilang tertutup wangi buah-buahan yang dijual di warung sebelahnya.
Disamping pedagang buah-buahan itu, burung, dan ayam dalam kurungan besar dan kecil, mengais-ais dedak padi. Lelaki yang menjual unggas-unggas itu berkelakar dengan tetangganya, seorang pedagang peralatan rumah dan dapur.
Sepasdang suami istri asal jawa menjual aneka tikar. Ditempat lain, seorang lelaki menjual senjata-senjata tajam seperti keris, golok, dan klewang, juga pisau dan kapak.
Bau yang menusuk hidung menunjukan jalan ke pasar ikan yang kecil.
Pasar Baroe ramai oleh suara-suara pedagang dan pembeli tawar-menawar , berkelakar dan tertawa. Suasananya yang ceria lebih mirip dengan suasana meriah di sirkus.
(frieda amran, anggota Asosiasi Antropologi Indonesia)

Pajak Anjing

Penyayang binatang yang hidup pada masa Kolonial pasti akan berpikir dua kali untuk memelihara anjing. Sebab, pada masa itu pemeliharaan anjingpun harus bayar pajak.
Di tahun 1990-an pemerintah Hindia Belanda masih mengalami defisit keuangan, maka bermacam upaya dilakukan untuk memperbaiki keadaan finansialnya, baik untuk kepentingan di negeri Belanda maupununtuk kepentingan keuangan di negri jajahannya(Indonesia).
Salah satunya adalah dengan mengintensifkan berbagai pajak, seperti menaikan pajak penyerahan wajib, mengadakan pajak penjualan tanah, pajak candu, pajak perdagangan pajak transportasi, pajak pasar, pajak jalan dan jembatan, pajak perjudian, pajak penggadaian, pajak ternak pajak minuman keras, pajak tembakau, pajak penangkapan ikan, pajak usaha kecil, pajak kepala, pajak penebangan kayu, pajak gula aren, pajak garam, bahkan pajak anjing.
Pajak Anjing ditetapkan dalam Staatsblad No.283 tahun 1906 yang kemudian diubah dalam Staatsblad No.430 tahun 1930 dan Staatsblad No.140 tahun 1931. pajak ini harus di bayarkan tiap tahun dan dikenakan bukan saja pemilik tapi juga mereka yang disuruh menyimpan atau memelihara anjing (Berita Resmi Daerah DIY, 1961.)
Untuk mengingatkan masyarakan akan kewajibannya tersebut, pemerintah Hindia Belanda kerap membuat pengunguman yang dimuat dalam Koran-koran yang beredar saat itu, salah satunnya adalah Koran Sin Po, isi pengumuman itu:
“kami Burgemeester Betawi memberitahoe bahwa memoengoet padjak andjing boeat taoen 1930/1931 akan dimoelai dai 1 juli 1930. barang siapa jang mempoenjai andjing haroeslah ia dating membajar padjak itoe pada kantor Gementee-Ontvanger di kebon sirih 22 dan ditetapkan boeat 1 andjing itoe f 10-banjaknja. Kantor diboeka saban hari (selaen hari minggoe dan hari besar) dari poekoel 7 ½ sampe 10 pagi.
Waktoe membajar padjak haroeslah penning taoen 1929/1930 dikembaliken, soepaja djangan poela dikenakan bajaran f 0,25”(Sin Po, 28 juni 1930).
Tentu saja pemilik anjing yang tidak mematuhinya akan dikenakan sangsi atau denda yang tinggi
(Lily Utami, pemerhati sejarah dan budaya)

Orang Jerman Pertama di VOC

Di kota Leer, Jerman Utara, pada 8 Agustus1705 lahir Gustav Wilhelm Baron von Imholff. Sejak muda von Imhoff sudah tertarik kepada negri-negri nan jauh di seberang khatulistiwa. Kedekatannya dengan belanda mempengaruhi pandanganya terhadap dunia. Cita-cita von Imholff melanglang buana terwujud ketika dia menjadi pejabat VOC.
VOC merekrut banyak pemuda asal Jerman. Bahkan yang istimewa VOC juga merekrut orang Skotlandia, Polandia, Swiss, dan Perancis. Dalam aturan memang jelas dikatakan, siapa saja orang Eropa boleh menjadi pegawai VOC. Pada 1725 von Imhoff berangkat ke Batavia.
Di sinilah karir von Imhoff bermula. Di Batavia dia menikah dengan putri mantan Gubernur Jendral Huysman van der Hille. Karena perkawinanya itu, dia menjadi lebih terpandang di kalangan bangsawan Belanda. Pada 1730 dia diangkat menjadi inspektur pelabuhan. Pada 1736 dia menjadi Gubernur Ceylon, yang juga dibawah kekuasaan VOC. Pada 1738 von Imhoff dipindahkan lagi ke Batavia menjadi anggota Dewan Hindia.
Pada 1740, dibawah Gubernur Jendral Adrian Valckenier, terjadi huru-hara yang dalam sejarah dikenal sebagaiPembantaian Orang-orang Tionghoa di Batavia”. Akibatnya pemerintah belanda mengganti Valckenier dengan von Imhoff. Sebagai Gubernur Jendral, von Imhoff mendapat kuasa penuh untuk melakukan reformasi dalam tubuh VOC.
Pada 1741, menurut Rudiger Siebert dari Radio Suara Jerman Deutsche velle, von Imhoff membuat memorandum untuk VOC yang membahas masalah kondisi VOC. Yakni bagaimana memperbaiki dan mempertahankan kekuasaan VOC. Ketika itu telah menjadi badan yang bobrok karma ulah pejabatnnya.
Kondisi Batavia juga semakin kotor, menurut von Imhoff, tidak masuk akal kalau Batavia dibangun seperti kota di belanda dengan banyak kanal dan sungai. Hal itu dipandangnya hanya menjadi sarang nyamuk dan benih penyakit lain, Imhoff lalu mencari daerah pedalaman yangg lebih sehat. Pada 1745 dia memerintahkan pembangunan tempat kediaman yang dinamakan Buitenzorg atau tanpa kesusahan lokasinnya di bagian utara Kebun Raya Bogor sekarang.
(djulianto susantio, pemerhati sejarah dan budaya )

Minggu, 08 Mei 2011

Jejak Niaga Barang Komoditi Batavia

Berita tentang pelabuhan sunda kelapa muncul dalam berita Belanda pertama kali ditulis oleh Jan Huygen van Linschoten. Dalam perjalanan dari Belanda ke Spanyol dan India dia rajin menyalin berbagai sumber dan peta Portugis. Dia pun mencatat apa yang didengarnya dari orang-orang yang pulang dari Asia Tenggara dan Asia Timur ke Goa. Menurut laporannya, pada tahun 1580-an Jakarta masih disebut Sunda Kelap.
Buku karangan van Linschoten itu berjudul Itinerario, terbit pada tahun 1595. disebutkan di dalamnnya sebagai mana terjemahan Adolf Heuken. “di sebelah tenggara di seberang ujung pulau Sumatra, di sebelah selatan khatulistiwa, terletak pulau yang disebut Iava Mayor atau Jawa Besar” (Sumber-sumber asli sejarah Jakarta, jilid 2, hal. 11).
Karena berita tersebut, kaum pedagang di beberapa kota di Belanda mengumpulkan modal untuk bersama-sama mengirim beberapa kapal ke Jawa dan Maluku (1595). Beberapa harga komoditi ketika itu? Laporan van Linschoten mungkin bisa menjadi perbandingan.
Menurutnnya,di Sunda tidak ada mata uang selain keeping-keping perunggu yang disebut caixa. Caixa berasal dari kata kas’u (bahasa Tamil), berarti sekeping uang. Nilai 200 caixa, sama dengan satu sata. Sata, dari kata Jawa Kuno satak, berarti ‘dua ratus’. Setiap lima sata atau 1000caixa, sama nilainnya dengan satu crusade Portugis (dari emas) atau tiga gulden karolus uang Belanda (dari perak).
Lada dari sunda dijual dalam karung dan setiap akrung beratnnya 45 cate (sama dengan kata melayu kati) Tionghoa. Setiap cate sama dengan 20 ons Portugis. Harga setiap karung yang dibeli di tempat ini,, sekurang-kurangnnya 5.000 caixa dan paling tinggi 6.000 atau 7.000 caixa. Bunga pala, cengkeh, pala, kapur barus putih dan hitam, serta kamper dijual menurut timbangan bahar. Bahar sama dengan 3 sampai 4,5 pikul atau sekitar 70kg.
Setiap bahar sunda sama dengan 330 cate Tionghoa. Bunga pala yang baik biasanya berharga 100 atau 120 ribu caixa. Cengkeh yang baik harganya menurut persediaan. Sebaliknnya cengkeh jelek berharga 70 atau dijual 20 atau 25 ribu caixa se-bahar. Kapur barus putih dan hitam berharga 150-180 bahkan 200 ribu caixase-bahar.
(Djulianto susantio, pemerhati sejarah dan budaya)

Cagar Budaya Condet dan Rumah Betawi


Salah satu situs arkeologi di wilayah Jakarta yang sebenarnnya cukup potensial adalah Condet. Menurut para arkeolog, kemungkinan daerah Condet termasuk hunian pertama masyarakat prasejarah dari masa perundagian. Temuan arkeologis dari situs tersebut menunjukan sedikitnnya masa 3.000 SM.
Penelitian pertama situs Condet dimuali tahun 1976, saat Condet dicanangkan sebagai kawasan cagar budaya oleh gubernur Ali Sadikin.
Ekskavasi arkeologi pertama dilakukan disini pada 1979. ketika itu temuan-temuan yang diperoleh berupa gerabah berhias, beliung persegi, batu asah, batu cetakan, batu serpihan, fosil, dan parang besi. Ekskavasi selanjutnnya menghasilkan gerabah, batu serpihan terakota, dan mata panah dari batu kalsedon. Berarti di zaman itu orang telah hidup dan tinggal di Condet.mereka mempergunakan benda-benda tadi sebagai alat untuk menebang pohon, memotong dan untuk berbagai keperluan lainnya.
Tafsiran sebagai kawasan purba, juga ditandai adannya toponim di Condet seperti nama jalan Batu Alam, Batu Ampar, dan Balekambang. Dalam tradisi purba, Batu Alam adalah tempat melantik raja baru. Sementara Batu Ampar atau Batu Ceper adalah batu tempat meletakan sesajen dan dan Bale Kambang adalah tempat pesanggrahan raja-raja.
Kecuali banyak mengandung peninggalan arkeologi, wilayah Condet juga memiliki ciri kebudayaan yang khas berupa rumah tradisional Betawi. Sayang, seiring pertumbuhan penduduk dan masalah ekonomi, banyak properti milik pemukim asli dibeli orang-orang berduit. Sebagai gantinnya, diatas lahan tersebut berdiri rumah-rumah mewah bergaya moderen. Padahal, pembangunan tersebut pernah dipersoalkan karna tidak didukung oleh kegiatan Analisis mengenai Dampak Lingkungan atau Amdal. Akibatnnya kini rumah-rumah warga asli Condet tidak lagi dikelilingi perkebunan salak dan duku.
Pada 1970-an tercatat adannya tujuh rumah tradisional Betawi. Rumah itu terlestarikan karna adannya bantuan dana pemeliharaan dari Gubernur Ali Sadikin. Namun sejak beliau meninggalkan jabatan, para penggantinnya tidak lagi memberikan perhatian.
Rumah tradisional Betawi di sini mempunnyai beberapa keunikan. Pengaruh China banyak terdapat di rumah ini, baik dari segi arsitektur maupun sebutan bagian-bagian rumah atau ruangan. Yang paling khas dari rumah ini adannya jendela bujang yang bisa digese ke kiri dan kekanan. Jendela ini berfungsi agar sang gadis bisa mengintip sang bujang yang akan meminangnnya .
(Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)

Pijat dan Musik di Batavia



Kebanyakan buku harian berisi catatan sehari-hari. Buku harian Dr. Strehler (Bijzonderheden wegens Batavia en deszelfs omstreken: uit het dagboek gedurende twee reizen derwaarts in 1828-1830 van Dr. Strehler. Haarlem: de Wed. A. Lossjes pz. 1833) tidak hanya berisi ungkapan hati penulisnnya, tetapi penuh uraian rinci mengenai segala yang dilihat dan dialaminya selama di Batavia. Di Batavia semua orang tidur di antara pukul 13:00-16:00. Bila tidak beristri, seorang lelaki yang merasa penat namun tak juga dapat tertidur, memanggil satu atau dua pembantu wanita untuk memijitnnya. Wanita-wanita itu mulai memijat perlahan-lahan. Di Hindia-Belanda, pijat-memijat merupakan keahlian tersendiri. Pertama-tama, dilakukan apa yang disebut pidjit : lengan, kaki, punggung, leher, dan kepala Toean Besar diberi tekanan-tekanan halus. Pidjit diikuti oleh sapoe-sapoe, yaitu gosokan-gosokan halus dengan telapak tangan. Setelah tubuh Toean Besar rileks, para pembantu itu melanjutkan dengan: gosok-gosok, yaitu menyeka tubuh dengan handuk hangat. Ini diikuti oleh tombok, yaitu tekanan halus dengan kepalan tangan. Tjowit, cubitan-cubitan kecil di kulit dan ramas, yaitu menarik jari-jari kaki dan tangan hingga berderak menutup seluruh rentetan pijat-memijat siang hari itu. Ketika akhirnya, kedua pembantu wanita itu menutup pintu kamar, hanya terdengar dengkur sang Toean sebagai ucapan terima aksih. Sore hari, orang bersiap pergi. Pada tahun 1828 setiap hari Kamis dan Sabtu diadakan latihan Korps Musik Militer di depan istana Wltevreden. Setelah matahari terbenam, dari segala arah berdatangan kereta-kereta kuda. Setiap kereta dipenuhi wanita-wanita cantik. Kereta-kereta itu berhenti berdampingan membentuk setengah lingkaran mengitari barisan Korps Musik Militer. Para penumpang tetap duduk di kereta masing-masing. Kuda-kuda yang ditunggangi oleh prajurit-prajurit tampan sesekali mendekati kereta-kereta yang berisi wanita-wanita cantik. Acara seperti ini merupakan kesempatan yang di tunggu-tunggu oleh nona-nona berbangsa Eropa dan Indo-Eropa untuk memamerkan kecantikan dirinnya dan keindahan pakaian serta perhiasan mereka kepada dunia. Dan dunia, (diwakili para lelaki Batavia) tidak menyia-nyiakan kesempatan menikmati indahnnya mahluk ciptaan Tuhan. Musik yang diperdengarkan tak kalah dengan musik di Eropa. Masyarakat (Eropa dan Indo) di Batavia merangkul pemusik dan seniman dari Eropa. Di negeri sendiri, tidak banyak pemusik yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnnya dengan keahliannya. Di Batavia, pendidikan musik mahal hargannya dan orang-orang bersedia mengeluarkan uang beberapa gulden untuk dapat belajar bermain musik. Suasana di udara terbuka itu terasa menyenangkan.
(Frieda Amran, alumni Fakultas Antropologi UI, tinggal di Belanda)